Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ada Apa? Ruu Hidung Belang Belum Diketuk Palu Dpr


Mediaapakabar.com- Beranikah dewan perwakilan rakyat mempidanakan laki-laki hidung belang? Pertanyaan tersebut memang 'layak' disampaikan kepada para anggota dewan 'terhormat'. Mengingat begitu usang belum juga diketuk palu soal sanksi untuk laki-laki hidung belang. 

Dikutip dari detik.com, Senin (7/1/2019), setahun berlalu, umpan lambung MK masih dibiarkan di DPR. Revisi kitab undang-undang hukum pidana hingga sekarang belum ada gejala akan disahkan. Alih-alih konsumen muncikacari berkurang, malah muncul lagi perkara serupa yaitu yang menyeret Vanessa Angel dan Avriellia Shaqqila.

Presiden menyetujui laki-laki hidung belang dieksekusi 5 tahun penjara dan dituangkan dalam RUU KUHP. Namun, draft RUU kitab undang-undang hukum pidana itu masih mangkrak di DPR.

Sikap pemerintah itu tertulis dalam nota balasan yang tertuang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 132/PUU-XIII/2015. Nota balasan itu menanggapi permohonan muncikari Robby Abbas yang menginginkan penikmat prostitusi dipenjara.

"Sekarang ini terdapat pembahasan revisi Rancangan Undang- Undang kitab undang-undang hukum pidana yang salah satu pasalnya mengatur sesuai dengan permohonan Pemohon yang diatur dalam bab keempat ihwal Zina dan Perbuatan Cabul Pasal 483 ayat (1) abjad e," demikian perilaku pemerintah soal kriminalisasi hidung belang.

Pasal 483 ayat 1 abjad e berbunyi:

Dipidana alasannya ialah zina, dengan pidana penjara paling usang 5 (lima) tahun laki-laki dan wanita yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melaksanakan persetubuhan.


Rancangan pasal gres itu akan menggantikan Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana yang berbunyi:

Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling usang satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Menurut pemerintah, permohonan Robby Abbas bukanlah informasi konstitusionalitas, tidak juga merupakan informasi persamaan kedudukan dalam hukum, tidak juga merupakan informasi pertolongan hukum, serta tidak juga merupakan informasi keadilan.

"Tetapi lebih kepada informasi politik aturan negara yang memilih apakah suatu perbuatan dikategorikan suatu tindak pidana atau tidak yang ditentukan banyak hal antara lain perkembangan teknologi, perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, dan faktor ekonomi," ujarnya.

Adapun berdasarkan hebat pidana UGM, Prof Eddy O.S Hiariej yang menjadi hebat di permohonan Robby Abbas di atas, menyatakan sudah selayaknya pasal prostitusi di kitab undang-undang hukum pidana harus diubah alasannya ialah bernafas budaya Barat/Eropa. kitab undang-undang hukum pidana tidak sesuai dengan idiologi dan kultur budaya Timur/ke-Indonesia-an.

"Dengan demikian, pasal-pasal a quo (ketentuan Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana dan ketentuan Pasal 506 KUHP) selain bersifat diskriminatif dan tidak menjamin kepastian hukum, pasal-pasal ini juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan secara sosiologis bertentangan dengan budpekerti ketimuran maupun norma-norma yang ada dalam agama-agama yang dianut di Indonesia dan oleh jadinya pasal-pasal a quo (ketentuan Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana dan ketentuan Pasal 506 KUHP) harus dinyatakan tidak berlaku atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan aturan mengikat," kata Eddy menyimpulkan analisanya.


Atas silang sengketa itu, MK memutuskan menyatakan tidak berwenang menciptakan jenis pidana baru. Menurut MK, yang berwenang mengkriminalisasikan sebuah perbuatan ialah DPR.

"Persoalan aturan yang dipermasalahkan Pemohon ialah kebijakan kriminal, dalam arti mengakibatkan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana, di mana kebijakan demikian ialah politik aturan pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang yang terbuka untuk umum di gedung MK pada 5 April 2017. (*/zih)