Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Refleksi Kondisi Perikanan Aceh Untuk Menata Dan Menyongsong Kala Depan Yang Gemilang

REFLEKSI KONDISI PERIKANAN ACEH UNTUK MENATA DAN MENYONGSONG MASA DEPAN YANG GEMILANG


Oleh: Prof. Dr. Muchlisin Z.A., S.Pi, M.Sc

Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar  
Fakultas Kelautan dan Perikanan  Universitas Syiah Kuala
di Gedung AAC Prof. Dr. Dayan Dawood, MA. Kampus Universitas Syiah Kuala
Selasa, 24 Februari 2015

Bismillahirrahmanirarrahim
Assalamualikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahhirabbil ‘alamin, wassalatu wassalamu ‘ala asrafil ambiyaii walmursalin, syaIidina muhammadin wa’alaalihi waashabihi ajmain. Rabbisyrahli shadri wayassirli amri wahlul ‘uqdatan mil lisani yafqahu qauli.
              
Yang terhormat:
Ketua and para anggota senat serta Guru Besar Universitas Syiah Kuala,
Rektor dan para Pembantu Rektor, para Dekan, dosen serta Staf Adminstrasi Universitas Syiah Kuala,
Ketua beserta Anggota Dewan Penyantun Universitas Syiah Kuala; Jajaran Muspida Aceh,
Para Rektor dan Pimpinan Perguruan Tinggi  dan fakultas yang hadir,

Para tamu undangan khusus dan hadirin yang saya muliakan.

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya kita telah diberi kesempatan dan kesehatan untuk kita semua sehingga sanggup hadir dalam lembaga ilmiah ini. Salawat dan salam kita sampaikan pula kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita ke alam ilmu pengetahuan dan akhlakul karima.
Hadirin dan Hadirat yang mulia
Sektor perikanan merupakan salah satu sektor terpenting bagi pemerintah dan masyarakat Aceh, diperkirakan lebih kurang 55% masyarakat Aceh mengantungkan hidup baik secara pribadi maupun tidak pribadi pada sektor ini (Yusuf, 2003).  Provinsi Aceh mempunyai luas wilayah lebih kurang 57.366 km2 atau setara dengan 12.3% luas Pulau Sumatra. Provinsi ini berbatasan pribadi dengan Selat Malaka di penggalan timur, Lautan Hindia di Barat, Selat Benggala dan Laut Andaman di Utara serta dengan Provinsi Sumatera Utara di Selatan. Provinsi Aceh mempunyai garis pantai sepanjang lebih kurang 2.310 km dengan perairan teretorial seluas lebih kurang 295.370 km termasuk 238.807 km2 perairan  zona ekonomi ekslusif (ZEE) dengan sekurang-kurangnya 119 buah pulau. Disamping perairan lautnya, Provinsi Aceh juga mempunyai potensi di perairan umum darata (PUD), sekurang-kurangnya terdapat 73 sungai-sungai besar, rawa gambut (misalya Rawa  Singkil , Rawa Tripa dan Rawa Kluet ) dan danau (Danau Laut Tawar dan Danau Aneak Laot).
Pada perairan umum daratan (PUD), Provinsi Aceh mempunyai potensi yang tidak kalah besarnya, Muchlisin and Siti-Azizah (2009) mencatat sekurangnya terdapat 114 species ikan air tawar dan payau (Muchlisin, 2013) dan Rudi et al. (2009) mencatat 450 spesies ikan karang dan 120 spesies karang ada di perairan Aceh (Rudi et al., 2012). Lebih lanjut laporan terkini dari Muchlisin et al. (2015) bahwa terdapat lebih kurang 73 species ikan dari tempat rawa gambut Tripa, dari jumlah tersebut hampir 50% diantaranya  diantaranya mempunyai nilai irit dan berpotensi dijadikan ikan sasaran budidaya baik untuk tujuan konsumsi maupun ikan hias. Diantara ikan air tawar dan payau yang mempunyai potensi sebagai ikan sasaran budidaya untuk tujuan konsumsi antara lain; 4 species ikan keureling (Tor spp), 3 species sengko (Clarias spp.), 3 species bacei (Channa spp), 2 species ikan ileah/nijea (Anguilla spp.), beberapa spesies ikan seurukan (Osteochilus spp.), naleh (Barbonymus sp.), ceurapea (Epinephelus spp.) dan muloh (Chanos chanos) dan lain-lain (Muchlisin, 2013).  Sedangkan ikan-ikan yang berpotensi sebagai ikan hias diantaranya adalah; beberapa species ikan laga (Betta spp.),  2 spesies ikan sepat (Trichopodus spp.), naleh (Barbonymus sp), beberapa species ikan baong (Mystus spp.), beberapa species ikan seurukan (Osteochilus spp.), beberapa spesies ikan pagap batei (Gobidae) (Muchlisi, 2013). Namun sayangnya potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan pendapatan nelayan atau petani ikan khususnya dan masyarakat Aceh umumnya, sehingga kondisi nelayan dan petani ikan di Provinsi Aceh secara umum masih menyedihkan.  Menurut data BPS, Provinsi Aceh yaitu salah satu provinsi yang mempunyai jumlah penduduk miskin tertinggi di Sumatra, yaitu mencapai 19.57% (BPS, 2012), sebagian besar yang berprofesi sebagai nelayan, petani dan buruh harian.
Pada orasi ini saya ingin mengupas beberapa informasi terkini dalam dunia perikanan secara umum yang terjadi baik ditingkat lokal Provinsi Aceh dan nasional yang saya anggap penting untuk kita perbincangkan dan saya juga mencuba mengajukan beberapa pemikiran-pemikiran untuk mengatasi permasaalahan yang ada baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang sehingga kita sanggup menata masa depan yang lebih baik lagi dimasa depan.

Isu yang pertama adalah:
Kemiskinan Nelayan dan Pendidikan Rendah
Sudah menjadi persepsi umum bahwa nelayan selalu identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan melaporkan bahwa tingkat pendidikan nelayan di Aceh sebagian besar (40-55%) yaitu lulusan SD (SD) (Muchlisin et al.2013; Mussawir, 2009). Sebagai citra bahwa, hasil penelitian kami tahun 2012 (Muchlisin et al., 2012) di Aceh Besar memperlihatkan bahwa pendapatan nelayan Aceh Besar berkisar Rp 33.000,- s/d Rp 1.500.000,- dan umumnya nelayan kecil mendapat pendapatan lebih kecil berbanding nelayan besar dan sebagian besar nelayan di Aceh tergolong sebagai nelayan kecil dengan armada tangkap kurang dari 5GT.
Kemiskinan dan Pendidikan, menyerupai dua keping mata uang, sulit untuk dipisahkan, dan sulit juga untuk memilih yang mana mempengaruh mana, apakah lantaran nelayan miskin sehingga tidak mendapat kesempatan pendidikan yang baik, ataukah lantaran pendidikan rendah menyebabkan mereka sulit keluar dari kemiskinan?. Namun demikian kami menyakini tingkat pendidikan yang lebih baik sanggup merubah contoh dan cara berpikir sehingga gampang menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi perikanan terkini dengan demikian mereka sanggup mengoptimalkan cara menangkap atau membudidaya ikan, menangani hasil produksi, member nilai tambah pada hasil hingga kepada pengelolaan pendapatan yang dihasilkan. Oleh lantaran itu peluang dan kesempatan pendidikan bagi keluarga nelayan atau petani ikan khususnya bagi anak-anak nelayan harus menjadi prioritas pemerintah termasuk lembaga pendidikan.
Pemerintah dalam hal ini Dikti telah menyediakan banyak beasiswa salah satunya yaitu beasiswa Bidik Misi yang khusus diperuntukan bagi belum dewasa dari keluarga yang kurang bisa yang telah diterima di banyak sekali Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia, termasuk Unsyiah, namun sayangnya sangat sedikit dari belum dewasa nelayan yang bisa mendapatkannya, di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah contohnya masih kurang dari 10% mahasiswa dari anak nelayan. Hal ini mungkin disebabkan persaingan yang ketat untuk masuk ke PT ataukah lantaran informasi ini belum banyak diketahui oleh masyarakat nelayan, ataukah belum adanya dorongan yang berpengaruh dari orang bau tanah biar anaknya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Oleh lantaran itu berdasarkan saya perguruan tinggi khususnya Universitas Syiah Kuala perlu menyediakan jalur khusus bagi belum dewasa nelayan biar mereka sanggup diterima di Unsyiah dan menikmati beasiswa Bidik Misi tersebut, dengan impian sesudah mereka berhasil sanggup membantu keluarga atau orang tuanya keluar dari belenggu kemiskinan, Pemerintah pula perlu untuk terus meninggkatkan jumlah beasiswa bagi masyarakat miskin khususnya nelayan, namun demikian kiprah serta orang bau tanah untuk mendorong dan memotivasi anak-anaknya untuk melanjut pendidikan ke peringkat yang lebih tinggi perlu terus digalakkan. Mengajak belum dewasa kita yang masih usian dini (usia sekolah) turut serta membantu mencari nafkah dilaut berdasarkan saya perlu kita hindari,  beri kesempatan dan motivasi kepada mereka untuk pergi ke sekolah, urusan mencari nafkah yaitu tanggung jawab kita sebagai orang tua. Tetapi jikalau tujuannya untuk memperkenalkan maritim atau dunia perikanan bagi belum dewasa kita biar mereka mencitai dan menjaga sumberdaya maritim dengan baik nantinya, maka harus kita lakukan diluar jam sekolah sehingga tidak menganngu aktifitas mencar ilmu mereka.  
Kami juga sangat berharap akomodasi dan infrastruktur pendidikan tinggi di Universitas Jantong Hatee Rakyat Aceh ini khususnya di Fakultas Kelautan dan Perikanan dilengkapi sehingga sanggup memenuhi standar minimal yang dibutuhkan sehingga sanggup mendidik calon-calon pemimpin di masa depan yang diharapkan sanggup menjaga, mengelola dan mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan Aceh dimasa depan demi kemakmuran masyarakat Aceh, dan sebagai langkah kesiapsiagaan masyarakat Aceh menghadapi kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) perihal pemberlakukan Pasar Bebas Asean di akhir Tahun 2015 ini. Hal ini tentu selaras dengan visi dan misi Pemerintah RI ketika ini yaitu ingin mengakibatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Oleh karean itu sudah selayaknya lah Fakultas Kelautan dan Perikanan berada di garda terdepan universitas ini dan mendapat perhatian yang lebih dari banyak sekali pihak terutama Kementerian Dikti, Pemerintah Aceh dan Unsyiah khususnya.

Isu selanjutnya adalah:
Subsisi Bahan Bakar Minyak (BBM)
            Bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar merupakan komponen paling penting dalam suatu operasi penangkapan ikan, lebih dari 50% biaya operasi kapal penangkap ikan dihabiskan untuk BBM. Menurut hasil penelitian yang pernah kami lakukan di Aceh Besar (Muchlisin et al. 2012) bahwa umumnya nelayan belum bisa mendapat BBM bersubsidi, hal ini disebabkan lantaran tidak semua lokasi TPI/PPI tersedia stasiun pengisian BBM atau letaknya jauh dari lokasi nelayan sehingga dengan terpaksa mereka membeli secara eceran dengan harga lebih tinggi. Menurut hasil penelitian kami di Aceh Besar tersebut jikalau subsidi BBM dicabut total, maka pendapatan nelayan akan nelayan menurun hingga 90% dan bahkan bisa merugi, terutama bagi nelayan kecil disebabkan hasil tangkapan dan harga ikan yang tidak menentu. Oleh lantaran itu subsidi BBM bagi nelayan khususnya nelayan kecil kami pandang mutlak masih diperlukan. Pendirian sub-sub depo BBM di perkampungan nelayan juga perlu mendapat perhatian biar nelayan bisa mendapatkan harga resmi BBM subsidi tersebut.

Ketua dan sekretaris senat serta para undangan yang berbahagia, isu selanjutnya adalah:

Teknologi dan Kepemilikan Modal
            Sebagaimana telah kami jelaskan diatas bahwa nelayan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya, sebagian besar yaitu nelayan kecil dengan teknologi penangkapan ikan yang sederhana, sehingga mereka hanya sanggup beroperasi di perairan pesisir (kurang dari 4 mil), hanya menangkap ikan-ikan pelagis kecil dan ikan-ikan karang, mengakibatkan tempat pesisir tersebut sangat rentan terhadap kelebihan tangkap (over fishing). Untuk mengatasi permasaalahan tersebut berdasarkan saya ketika ini pemerintah tidak perlu lagi menambah kapal perikanan ukuran kecil tetapi harus fokus pada peningkatan kapasitas nelayan dengan cara meningkatkan kapasitas/ukuran kapal dan teknologi yang lebih maju, sehingga mereka sanggup menangkap di perairan maritim lepas hingga ke ZEE dengan waktu penangkapan beberapa hari hingga beberapa minggu dengan impian hasil yang lebih baik.
Selain dengan meningkatkan kapasitas dan teknologi penangkapan, peningkatan kapasitas nelayan dalam hal pengoperasian alat tangkap yang lebih modern namun tidak merusak juga harus dilakukan,  dan yang lebih penting juga yaitu mempersiapkan “mental” nelayan Aceh biar siap berlayar berhari-hari di maritim lepas tidak berjumpa dengan anak istri berhari-hari, hal ini penting mengingat  kebiasaan sebagian besar nelayan kita yaitu nelayan one day fishing, pergi pagi pulang sore, atau pergi sore pulang pagi dan bahkan ada masyarakat nelayan yang sehari (12 jam) dua kali pulang pergi melaut sebagaimana yang kami jumpai di salah satu wilayah di Aceh Besar. Sudah tentu nelayan-nelayan mirip ini perlu disiapkan terlebih dahulu, contohnya dengan dimagangkan  pada kapal-kapal besar yang beroperasi dari beberapa ahad hingga ber bulan-bulan.
Program bagi-bagi kapal terutama kapal besar kepada kelompok nelayan tanpa dibarenggi dengan dengan peningkatan kapasitas nelayan dan akomodasi penunjang lainnya, kami pandang akan sia-sia bahkan sanggup memecah belah kesatuan diantara nelayan yang selama ini sudah sangat baik, hingga pada akhirnya kapal tersebut akan beralih kepemilikannya kepada para toke secara tidak resmi (dibawah tangan), akhir nelayan tidak bisa mengoperasikannya baik oleh alasannya yaitu teknis maupun finansial.
            Masalah lain adalah, sudah bukan menjadi diam-diam lagi bahwa banyak nelayan kita bekerjsama boleh disebut “buruh nelayan” lantaran hanya menjadi pekerja saja di kapal-kapal yang dimiliki oleh toke-toke  dan yang lebih miris lagi ada pula yang menjadi pekerja di kapal milik sendiri yang telah digadaikan akhir hutang yang menumpuk. Juga bukan diam-diam lagi jikalau ada nelayan yang hasil tangkapannya sudah dimiliki oleh para toke sebelum ikan berhasil ditangkap dan didaratkan (ijon), hal ini disebabkan lantaran biaya operasi penangkapan sepenuhnya didanai oleh para toke tersebut. Juga patut kita pahami bahwa nelayan-nelayan tradisional tidak sanggup melaksanakan aktifitas penangkapan ikan sepanjang tahun, pada bulan-bulan tertentu (musim angin barat) sebagian besar nelayan tidak sanggup melaut disebabkan ukuran kapal dan teknologi yang tidak menjamin keselamatan di laut, karenanya pada musim-musim panceklik seperti ini sebagai besar nelayan tidak ada sumber pendapatan dan dengan sangat terpaksa berhutang kepada tengkulak atau toke, hal ini disebabkan sebagian besar nelayan kita belum mempunyai ketrampilan perhiasan sebagai alternatif sumber pendapatan jikalau tidak melaut (Muchlisin et al., 2013).
Oleh lantaran itu berdasarkan saya nelayan harus menjadi pemilik modal sehingga mereka bekerja untuk diri sendiri dan bahkan sanggup memperkerjakan orang lain  di kapalnya.  Agar hal tersebut sanggup tercapai salah satunya dengan pendirian Bank Nelayan, atau dengan cara pemberdayaan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang telah ada, kredibel dan bersedia menyediakan akomodasi pinjaman lunak bagi nelayan. Pemerintah daerah sanggup menempatkan dananya di bank-bank tersebut untuk selanjutnya disalurkan kepada nelayan yang membutuhkan tanpa agunan atau dengan agunan kapal mereka. Pada bank-bank konvensional hampir sanggup dikatakan tidak ada yang bersedia memperlihatkan pinjaman mirip ini, mereka tidak mau “berjudi” dengan hasil tangkapan yang tidak pasti. Kontribusi dari perusahaan-perusahaan yang ada di Aceh melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bapak angkat bagi para nelayan dan petani ikan dinilai perlu ditingkatkan, dengan demikian diharapkan akan diperoleh dampak saling menguntungkan bagi perusahaan dan masyarakat.  
Nelayan dan keluarga mereka juga perlu diberikan ketrampilan perhiasan yang sanggup dipakai sebagai mata pencaharian tambahan, berdasarkan saya jenis-jenis ketrampilan perhiasan yang diberikan kepada nelayan haruslah yang sifatnya cepat mendatangkan hasil (pendapatan). Pengalaman saya bekerja dengan nelayan memperlihatkan bahwa sangat sulit merubah sikap nelayan yang terbiasa berpikir sederhana dan jangka pendek, ini suatu tantangan bagi kita semua.


 Para hadiran yang saya muliakan, informasi selanjutnya adalah:

Kerusakan habitat
            Kerusakan lingkungan baik yang terjadi di tempat pesisir maupun hutan pendalaman secara pribadi dan tidak pribadi telah mengakibatkan kerusakan habitat ikan. Diperkirakan hingga tahun 1997 Indonesia telah kehilangan 72% hutannya (Bryant et al., 1997). Aceh mempunyai lebih dari 3,5 juta ha hutan tropis, dan diperkitakan 80% hutan Aceh telah mengalami deforestasi dengan laju kerusakan mencapai 20.000 ha lebih per hari (Purnamawati, 2007), di tempat pesisir pula, kerusakan hutan bakau juga sangat mengkhawatirkan, diperkirakan 58% hutan bakau Indonesia telah mengalami kerusakan dan dalam kasus Aceh 75% dari 50.000 ha hutan bakaunya  telah hilang dikonversikan sebagai lahan tambak dan pemukiman.
Kerusakan hutan akhir legal dan ilegal logging akan mengakibatkan pengikisan (longsor), meningkatkan sedimentasi dan kekeruhan air sungai yang selanjutnya akan terbawa ke tempat pantai. Peningkatan kekeruhan air sungai secara pribadi akan mempengaruhi produktifitas perairan disebabkan terganggunya proses fotosentesis fitoplankton dan flora air lainnya, karenanya ikan-ikan pemakan plankton akan berkurang atau bahkan punah dan seterusnya akan menghipnotis pula keberadaan ikan-ikan yang hidup pada tingkatan tropik yang lebih tinggi (merusak jaring-jaring masakan di perairan), selain itu pula peningkatan kekeruhan akan menganggu aktifitas mencari makan, merusak habitat pemijahan dikawasan lubuk-lubuk sungai akhir pendangkalan, jikalau hal ini terus terjadi maka sanggup dipastikan tempat perairan sungai tersebut akan “miskin” dari ikan.
            Sekarang mari kita lihat di perairan pantai, pengikisan akan membawa partikel-partikel lumpur ke tempat pesisir mengendap dan mengakibatkan pendangkalan di daerah muara, sehingga menyulitkan keluar masuk kapal nelayan. Pada beberapa daerah di Aceh bahkan Indonesia, Ratusan bahkan Milyaran juta uang rakyat telah dihabiskan untuk mengeruk muara sungai setiap tahunnnya, namun belum juga sanggup diatasi dengan sempurna.
Aliran air sungai yang membawa material lumpur juga akan menutupi akar-akar mangrove dan polip-polip karang di tempat pesisir, mengakibatkan kerusakan serius di ekosistim terumbu karang dan menganggu respirasi mangrove. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa tempat mangrove, lamun dan terumbu karang yaitu tempat paling penting dalam suatu ekosistim perairan, tempat ini berfungsi sebagai tempat memijah (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) bahkan sebagai tempat berlindung (shelter) bagi sebagian besar biota perairan termasuk ikan. Oleh lantaran itu jikalau kerusakan didarat dan dilaut ini terus dibiarkan terjadi maka bukan mustahil suatu ketika nanti  profesi nelayan menjadi barang “langka”nelayan akan ramai-ramai berganti profesi lantaran tidak ada lagi ikan yang bisa ditangkap.
Untuk mengatasi permasaalahan tersebut maka dibutuhkan langkah-langkah konservasi yang sangat segera, rehabilitasi tempat pesisir (hutan mangrove dan terumbu karang) perlu diprioritaskan bagi daerah-daerah yang mempunyai cukup dana. Bagi daerah-daerah yang kesulitan dana, kerjasama dengan pihak lembaga swadaya masyarat yang bergerak dalam pelestarian lingkungan dan perusahaan swasta nasional/internasional perlu dilakukan untuk membantu mengatasi masalah ini, keterlibatan pihak perguruan tinggi setempat juga perlu diintensifkan. Cara yang paling murah dan berdampak sangat kasatmata yaitu dengan tetapkan beberapa tempat yang dilindunggi (protected area) yang dipilih berdasarkan anjuran masyarakat, berdasarkan kajian-kajian pihak perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya, dimana pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat nelayan itu sendiri (community based conservation). 
Menurut saya moratorium logging yang telah dijalankan oleh pemerintah Aceh perlu terus dilakukan dan yang tidak kalah penting yaitu komitmen penegakan aturan harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, dalam hal ini pegawanegeri pemerintah dan pegawanegeri penegak aturan harus menjadi suri tauladan bagi masyarakat dalam hal penegakan hukum.

Pencemaran perairan
Ketua dan sekretaris senat serta para undangan yang mulia
Pencemaran yang umum terjadi dikawasan pesisir yaitu tumpahan limbah minyak yang umumnya berasal dari kapal nelayan atau bahkan kapal-kapal komersil lainnyaSungai dan maritim masih diposisikan sebagai “tong sampah raksasa” penampung segala macam bentuk sampah dan polutan dari darat terutama dari aktifitas manusia.
Pada tahun 2010 kemudian kami pernah melaksanakan survey dan kajian cepat dibeberapa tempat pendaratan ikan dibeberapa tempat dalam Provinsi Aceh, dari data yang ada kami memprediksi lebih dari 561.000 liter oli bekas setiap tahun dibuang dan mencemari perairan pantai Aceh (Muchlisin, 2011). Beberapa penelitian juga telah mengindikasikan adanya pencemaran logam berat pada air dan biota air termasuk ikan dan kerang (Ali, 2013; Ali 2014), dapat kita dibayangkan bagaimana kondisi perairan pantai kita ketika ini.
Untuk mengatasi hal tersebut maka tindakan yang dibutuhkan yaitu menyediakan tempat-tempat penampungan oli bekas disemua TPI/PPI dan menghimbau nelayan untuk tidak membuang limbah oli bekas ke perairan. Dalam kaitan pencemaran logam berat, maka kebijakan yang perlu dilakukan yaitu introduksi teknologi pertambangan emas ramah lingkungan kepada penambang tradisional yang tidak merusak lingkungan dan bebas merkuri atau materi beracun lainnya.

Isu selanjutnya adalah:
Rumpon
            Rumpon yaitu salah satu alat bantu penangkapan ikan, terbuat dari dedaunan ataupun materi sentetis lainya yang dipasang di maritim baik secara permanen maupun sementara, ikan-ikan kecil menjadikannya tempat berlindung, kondisi ini memancing ikan-ikan yang lebih besar untuk hadir dan berkumpul ke tempat rumpon untuk memangsa ikan-ikan yang kecil kecil, keadaan ini memudahkan nelayan pemilik rumpon menangkap ikan dalam jumlah yang banyak.
Yang patut kita ketahui yaitu rumpon bekerjsama bukan untuk menghasilkan ikan akan tetapi dipakai untuk mengumpulkan ikan sehingga gampang ditangkap, yang menjadi permasaalahan yaitu ikan-ikan semakin sulit ditemukan dikawasan lain lantaran sudah berkumpulkan disatu atau beberapa lokasi rumpon, kondisi ini menyebab nelayan kecil yang tidak mempunyai rumpon menurun hasil tangkapannya, artinya sumberdaya perikanan hanya dikuasai oleh nelayan-nelayan besar atau pemilik modal yang bisa membeli atau menciptakan rumpon.
            Saat ini penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan mulai banyak ditentang oleh nelayan kecil dan penggiat konservasi sumberdaya perikanan lantaran tidak memperlihatkan keadilan dan merusak populasi ikan secara jangka panjang. Dalam satu pertemuan antara pemerintah dengan nelayan di salah satu kabupaten yang kami turut hadir, dilaporkan bahwa ketika ini sudah sangat merajalela rumpon-rumpon nelayan abnormal (luar Aceh) yang ditempatkan berdekatan dengan areal penangkapan nelayan kecil (radius 4 mil), kondisi ini mengakibatkan ikan-ikan pelagis kecil dan besar yang bernilai irit tinggi tertahan dalam tempat rumpon dan sangat jarang tertangkap dalam radius 4 mil tersebut, ikan-ikan tersebut menjadi sasaran tangkapan yang sangat menguntungkan oleh para nelayan abnormal tersebut, nelayan kecil kita hanya gigit jari saja. Tidak jarang dilaporkan nelayan kita diancam tabrak untuk ditenggelamkan jikalau berani mengusik mereka, lantaran mereka mempunyai kapal dan ABK yang berkali lipat lebih besar dari nelayan kita.
            Untuk mengatasi permasaalahan tersebut maka yang perlu dilakukan oleh pihak terkait yaitu melaksanakan penataan rumpon, terkait perizinan, kepemilikan, jumlah dan jarak rumpon, dan melaksanakan razia dan menenggelamkan rumpon-rumpon tapi izin baik yang dimiliki oleh nelayan Aceh apalagi nelayan asing. Namun yang perlu dicatat bahwa jadwal Rumponisasi harus dibarenggi dengan jadwal rehabilitasi habitat (konservasi habitat) alami ikan (seperti terumbu karang, mangrove dan lamun) dalam tempat berdekatan, tempat ini akan berfungsi sebagai “mesin” penghasil benih-benih ikan yang sesudah mencapai ukuran tertentu sanggup ditangkap di tempat rumpon.
            Patroli maritim oleh pihak berwenang sangat diperlukan, namun masih banyak hambatan yang dihadapi diantaranya minimnya akomodasi kapal dan dana operasional, oleh lantaran itu kerjasama antar pihak sangat diperlukan, contohnya Tentara Nasional Indonesia AL atau Airud menyediakan akomodasi kapal sedangkan Pemerintah daerah mengangarkan sejumlah dana untuk biaya operasional termasuk BBM sedangkan krunya yaitu adonan pihak KKP dan petugas keamanan maritim tersebut.  
Melengkapi kelompok-kelompok nelayan dengan alat komunikasi dan nomor-nomor penting pegawanegeri pengawas perikanan atau pegawanegeri penegak hukum perlu juga dipertimbangkan agar jikalau terjadi praktek IUU fishing (pelanggaran) di maritim sanggup dilaporkan secara pribadi sehingga bisa diambilkan tindakan dengan segera oleh pihak berwenang. Tindakan keras Kementrian Kelautan dan Perikanan terhadap kapal-kapal abnormal patut kita apresiasi demi menjaga sumberdaya perikanan kita dan kedaulatan bangsa.

Modifikasi alat tangkap dan cara menangkap ikan
            Hasil penelitian kami tahun 2013 di Aceh Besar terungkap bahwa hampir 80% nelayan responden menyatakan hasil tangkapan mereka menurun berbanding 5 tahun sebelumnya (Muchlisin et al., 2013), mereka juga mengakui areal penangkapan ikan semakin jauh dan ikan yang tertangkap juga semakin kecil.  Kondisi ini memperlihatkan bahwa memang benar telah terjadi kelebihan tangkap (over fishing) di tempat pesisir Aceh. Menghadapi kondisi ini beberapa nelayan yang bermodal besar melaksanakan modifikasi alat tangkap biar lebih efektif menangkap lebih banyak ikan dalam kondisi jumlah stock ikan dikawasan pesisir semakin menipis.
Cara menangkap ikan juga mengalami perubahan, diantaranya dengan cara memasang pukat disekeliling terumbu karang, diikuti oleh penyelaman dengan alat bantu compressor untuk mengusir tempat ikan dari tempat terumbu dan mengiringnya masuk kedalam pukat, ikan kecil dan besar semua diangkat higienis dan tidak jarang terumbu karang juga rusak oleh jaring (Personal komunikasi dengan nelayan Lhok Lampuuk, Aceh Besar). Sekali lagi nelayan kecil gigit jari!
            Apa yang sanggup dilakukan? Sekali lagi yang dibutuhkan yaitu aturan (regulasi) yang mengatur tata kelola perikanan yang baik, pengaturan alat-alat tangkap yang dibolehkan dan alat tangkap yang dilarang, termasuk tatacara menangkap ikan yang diperbolehkan dan yang dilarang, jenis-jenis dan ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap dll. Kelompok nelayan yang concern dengan tatacara yang ramah lingkungan diberi insentif dan penghargaan yang sewajarnya (misalnya “fishermen award”  dan lain-lain).

Ketua Senat, anggota Senat dan hadiran sekalian, isu selanjutnya yang tidak kalah penting adalah:
Perubahan iklim global
Pemanasan global salah satunya disebabkan oleh imbas rumah beling yang disebabkan lantaran naiknya konsentrasi gas CO2 dan gas-gas lainnya (diantaranya Nitrogen monoksida dan Nitrogen dioksida) serta beberapa senyawa organik mirip gas metana dan kloro-fluorokarbon, CFC) di atmosfer. Penyebab kenaikan konsentrasi gas COdi atmosfer disebabkan pembakaran bahan bakar yang berasal dari fosil and materi bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan maritim untuk menyerapnya.
Isu pemanasan global merupakan salah satu informasi yang sedang hangat didiskusikan akhir-akhir ini. Pemanasan global telah memicu pencairan es di kutup mengakibatkan kenaikan permukaan air laut, perubahan salinitas, temperatur  dan pH air laut.
Salah satu fenomena yang sering terjadi yaitu kematian karang secara massal (coral bleaching) dibeberapa tempat maritim di dunia, termasuk di Aceh khususnya Pulau Weh (Goblue, 2010 dalam Muchlisin, 2011). Menurut Herdiana (2010) terumbu karang di perairan Pulau Weh 80% mengalami pemutihan dan sekitar 20% di antaranya mengalami kematian pasca terjadinya pemutihan karang pada April 2010.
Dampak perubahan iklim ini sangat dirasakan oleh nelayan sebagaimana diakui oleh Panglima Laot Lhok Aceh, bahwa dalam setahun terakhir hasil tangkapan nelayan menurun drastis mencapai 50% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (Harian Serambi Indonesia, 2011 dalam Muchlisin, 2011).
Di perairan daratan khususnya danau, pemanasan global telah mengakibatkan turunnya permukaan air danau, contohnya di Danau Laut Tawar Aceh Tengah, lebih kurang 1,5 hingga 2 meter air danau turun dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, hal ini telah mengakibatkan belum dewasa sungai-sungai di sekeliling danau menjadi kering, belum dewasa sungai-sungai ini merupakan spawning ground bagi  bagi beberapa spesies kan termasuk ikan depik, spesies endemik di Danau Laut Tawar mengakibatkan populasi ikan ini turun mencapai lebih dari 90% (Muchlisin et al., 2010; Muchlisin et al., 2011).
Perubahan iklim menghipnotis migrasi ikan, ikan-ikan yang bisa bermigrasi akan mencari tempat yang lebih nyaman meninggalkan tempat yang terpengaruh dengan fenomena ini, sedangkan ikan-ikan yang tidak bisa bermigrasi akan melakukan pembiasaan baik secara fisiologis maupun morfologis dan bagi spesies yang tidak mempu melaksanakan adaptasi mengalami kematian massal dan bahkan punah, dengan demikian akan mengubah perilaku, komposisi jenis dan jumlah ikan pada suatu perairan dan bukan mustahil mengakibatkan perairan berkenaan steril dari ikan.
Perubahan sifat-sifat kimia fisika air maritim akhir perubahan iklim juga akan mengakibatkan perubahan jalur migrasi ikan sehingga mengakibatkan perubahan fishing ground nelayan, mengakibatkan ikan gagal mencapai spawning ground dan gagal memijah, mengakibatkan populasinya menurun dan bahkan punah. Kenaikan muka air maritim akan mengenangi tempat pantai, merusak tempat pertambahan, pemukiman, hutan bakau dan terumbu karang. Kesemuanya itu berdampak pada penurunan populasi dan produksi ikan dan mengancam pasokan ikan dunia, sudah tentu mengancam keamanan pangan (food secutity) penduduk bumi.

Ketua dan sekretaris senat serta para undangan yang berbahagia, informasi berikutnya adalah:

Harga Pakan Mahal
Isu utama yang sering diperbincangkan dalam industri perikanan budidaya ketika ini yaitu mahalnya harga pakan, kualitas bibit rendah, merajalelanya alien spesies (spesies hasil introduksi dari luar Aceh atau Indonesia), penyakit, pencemaran dan ketrampilan petani ikan masih rendah.
Pakan merupakan komponen yang paling penting dalam suatu industri budidaya perikanan, biaya pakan sanggup mencapai 60-70% dari biaya produksi, oleh lantaran itu dukungan pakan harus dilakukan secara tepat baik dari segi jumlah, waktu maupun frekuensi dukungan sehingga sanggup menghasilkan pertumbuhan ikan yang maksimun dengan jumlah pakan yang seminimum mungkin, sehingga dengan demikian biaya produksi sanggup ditekan dan margin keutungan yang diperoleh lebih besar.
Saat ini harga pakan komersil tergolong mahal, hal ini disebabkan lantaran komponen paling penting dalam pakan ikan komersil ketika ini yaitu tepung ikan dan kedelai yang sebagian besar masih mengadalkan impor. Oleh lantaran itu kajian-kajian perihal pakan ikan menjadi topik yang menarik dan banyak dikaji oleh para pakar budidaya. Mahasiswa dan dosen di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah ketika ini kami banyak menfokuskan dan menstimulasi mahasiswa untuk melaksanakan kajian pada pakan alternatif bagi ikan-ikan yang berpotensi untuk dibudidayakan dengan tujuan untuk menekan biaya produksi lebih rendah dengan memanfaatkan potensi lokal sebagai sumber protein dalam pakan dan ikan-ikan yang dipilih juga yaitu ikan-ikan local yang mempunyai nilai irit tinggi.


 Hadiran yang saya muliakan, informasi lain yang juga sangat penting dalam dunia perikanan budidaya adalah:

Penyakit dan Dominansi Spesies Ikan Asing
Perikanan budidaya di Provinsi Aceh tergolong masih gres berkembang dan masih didominansi budidaya ikan air tawar dan payau. Hal ini dipandang masuk akal mengingat Provinsi Aceh dimasa kemudian mempunyai kekayaan perikanan maritim masih sangat melimpah, namun ketika ini kondisi sudah mulai berubah dan kita mulai melirik perikanan budidaya, sebagai starting point nya memang lebih baik kita memulai dengan perikanan air tawar atau payau lantaran secara umum perikanan air tawar memang lebih dahulu berkembang secara global, sehingga alih teknologi relatif cepat dan gampang serta investasinya juga relatif lebih rendah berbanding perikanan laut.
Aceh juga pernah berjaya dengan perikanan budidaya udang windu (Penaeus monodon) pada kurun 1970an- 1980an kemudian kolaps akhir dari serangan penyakit salah satunya adalah Monodon Baculovirus (MBV) yang hingga kini belum ada motode pengobatan yang benar-benar efektif sehingga masih menghantui para petambak khususnya petambak tradisional yang belum menerapkan best management aquaculture practices menyebabkan hampir sebagian besar tambak rakyat di Aceh menjadi telantar (idle)Kami menduga merebaknya banyak sekali penyakit tidak terlepas juga dari kerusakan lingkungan akhir alih fungsi hutan bakau besar-besar menjadi tambak pada kurun 1970an – 1980an tersebut, dilain pihak masukan beban limbah dari sisa-sisa pakan dan feces udang/ikan yang menumpuk di dasar tambak atau dasar perairan tidak pernah ditangani dengan baik sehingga terakumulasi selama puluhan tahun dan menjadi media yang sangat baik bagi perkembangan banyak sekali jenis penyakit udang dan bahkan ikan.
Untuk mengatasi permasaalahan tersebut beberapa langkah yang sanggup ditempuh yaitu peremajaan tanah dasar tambak, rehabilitasi hutan mangrove, penerapan closed water circulation teknologi biofluc, dan sistim budidaya sistim selang seling (udang – ikan – udang) yang sanggup dipadukan (polikultur) juga dengan budidaya rumput laut,  moluska (kerang-kerangan) lain-lain jenis organisme air yang mempunyai kebiasaan dan cara makan (food and feeding habits) yang berbeda satu sama lain, yang diharapkan sanggup membantu memperbaiki kualitas air. Model budidaya mirip ini sering disebut sebagai sistim budidaya tropic level rendah atau (Trophic Level Based Aquaculture Practices).
Pasca tsunami final 2014 lalu, perikanan budidaya di Provinsi Aceh mulai hidup kembali dari mati surinya, tambak-tambak yang rusak diperbaiki dan nelayan diberikan pelatihan-pelatihan dan bahkan modal. Namun sayangnya pada masa ini pula intensitas introduksi spesies ikan abnormal ke Aceh semakin intensif dilakukan, sehingga petani ikan kita sangat bergantung kepada ikan-ikan  introduksi (alien fish species) teesebut sebagai ikan sasaran budidaya, contohnya ikan mas (Cyprinus carpio), ikan nila (Oreochromis niloticus), ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), ikan patin (Pangsius spp.), dan akhir-akhir ini petambak juga mulai “dirayu” untuk memelihara udang Vaname dll, hal yang sama juga terjadi pada budidaya ikan hias,  kami memprediksi lebih dari 75% ikan hias yang dijajakan yaitu spesies hasil introduksi dari luar Aceh atau bahkan luar Indonesia. Menurut saya hal ini bukanlah salah petani ikan atau petambak 100%, akan tetapi pihak-pihak yang membina petani ikan lah yang sepatutnya yang bertangggung jawab.
Kita juga sering mendegar atau membaca kegiatan “tebar ikan” atau dalam bahasa abnormal disebut “restocking” ke parairan umum, danau dan bahkan maritim yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu tanpa didasari hasil kajian ilmiah, padahal ikan yang ditebar tersebut bekerjsama tidak hidup atau belum pernah ditemukan di perairan berkenaan. Menurut saya ini yaitu “restocking salah kaprah” dan perlu diluruskan dan pihak-pihak yang terlibat sebelumnya perlu segera melaksanakan penilaian ulang program-program mereka tersebut.
Program restocking salah kaprah ini  menjadi jadwal primadona bagi sebagian pihak lantaran sulit untuk dimonitoring, sulit untuk bisa menghitung dan mengukur satu persatu bibit ikan yang sudah dilepaskan ke danau, sungai atau waduk, oleh lantaran itu sangat rentan diselewengkan. Program restocking sendiri bekerjsama memberi dampak positif jikalau dilakukan dengan benar. Sejatinya jadwal restocking yaitu kegiatan mengembalikan stock ikan yang telah menurun di alam, artinya ikan yang ditebarkan tersebut memang intinya ditemukan dan hidup di perairan tersebut, namun populasinya telah menurun tajam, sehingga terancam punah atau berdampak pada penurunan pendapatan nelayan. Kegiatan ini dilakukan juga tidak secara instan akan tetapi dibutuhkan waktu dan langkah-langkah bertahap, mulai dari kajian stock, penyiapan infrastruktur untuk pemuliaan jenis-jenis ikan yang terancam tersebut, domestika induk atau calon induk, pembenihan, penebaran serta monitoring dinamika populasinya. Semua langkah-langkah tersebut jarang dilakukan atau bahkan tidak pernah dilakukan di Aceh.
Para pakar konservasi sumberdaya perairan dunia umumnya setuju bahwa introduksi suatu spesies abnormal pada suatu ekosistim perairan secara jangka panjang akan merugikan baik secara irit maupun ekologis, oleh lantaran itu perlu dilakukan secara hati-hati dan dibatasi. Introduksi spesies ikan abnormal ke Indonesia terjadi dengan dua cara, yaitu: secara sengaja (proposes introduction) dan tanpa disengaja (insedentil introduction), yang disengaja antara lain untuk tujuan memperbanyak jenis ikan sasaran budidaya, namun sayang akhir ketidak tahuan atau teknik budidaya yang tidak benar ikan-ikan tersebut terlepas ke perairan bebas dan berkembangbiak disana; Untuk tujuan hobbi, contohnya untuk pemancingan atau ikan hias; dan untuk pengontrolan vector penyakit, contohnya untuk membasmi jentik-jentik nyamuk pembawa malaria; sedangkan yang tidak sengaja, antara lain melalui ballast water, yaitu air pendingin mesin kapal yang diambil dari perairan lain dan dibuang di perairan Indonesia ketika kapal bersandar dan driftwood atau kayu-kayu yang hanyut dari perairan lain dan masuk ke perairan Indonesia saat banjir atau tsunami.  Pada air dan kayu hanyut tersebut secara tidak sengaja ikut melekat membawa telur atau larva-larva ikan asing, menetas dan menyebar di perairan Indonesia.
Sebagai citra bahwa ikan nila dan ikan mujair telah diintroduksi dari habitat aslinya dari Afrika ke lebih kurang 90 negara dan 85 negara diantaranya telah melaporkan terjadi gangguan ekologis akhir kedua jenis ikan tersebut (Casal, 2000), dan menurut Invasive Species Specialist Group bahwa ikan nila dan ikan mas telah mendapat gelar sebagai the top hundred of the world’s most destructive invasive alien species” yaitu termasuk 100 ikan abnormal paling merusak di dunia (ISSG, 2004).
Dampak negatif dari introduksi spesies ikan abnormal ke suatu perairan antara lain; terjadi pemangsaan, persaingan dalam pemanfaatan jenis makan (diet overlap) dan ruang (kolom air), rentan sebagai biro membuatkan penyakit dan parasit,  kegagalan mendapat pasangan, jikalau terjadi kawin silang yang tidak diharapkan dengan ikan lokal akan mengakibatkan ikan-ikan lokal kehilangan sifat-sifat aslinya (misalnya sifat tahan penyakit, rasa daging dll).
Sebagai ilustrasi suatu kegiatan yang sangat fenomenal dan menarik perhatian banyak saintis yaitu dampak introduksi ikan nile perch (Lates niloticus) ke Danau Victoria dan Danau Kyoga di  Afrika, mengakibatkan produksi ikan di kedua danau menurun drastis dan kolaps pada Tahun 1985, sehingga semua nelayan terpaksa dipindahkan keluar dari tempat tersebut lantaran kehilangan sumber pendapatan (Barlow dan Lisle, 1987). Dalam kontek Aceh, pada Tahun 2011 kami mencatat terdapat 10 species ikan abnormal di perairan Aceh dan yang paling luas penyebarannya yaitu ikan nila, ikan mujair dan ikan lele dumbo (Muchlisin, 2012). Sementara dilain pihak, Indonesia dan Provinsi Aceh khususnya mempunyai potensi keragaman species ikan yang sangat tinggi dan sebagian besar mempunyai potensi untuk dijadikan ikan sasaran budidaya baik untuk tujuan konsumsi maupun ikan hias.
Oleh lantaran itu pengembangan perikanan budidaya Aceh dimasa depan HARUS BERTUMPUKAN KEPADA IKAN-IKAN ASLI SETEMPAT YANG MEMILIKI NILAI EKONOMIS TINGGI, diantaranya untuk ikan air tawar; ikan keureling (Tor spp), ikan ileah/niejie atau sidat (Anguilla spp.), lele lokal (Clarias spp.) ikan seurukan (Osteochilus spp), bacei atau ikan gabus (Channa striata) dan naleh (Barbonymus sp.), untuk ikan payau/laut diantaranya kerapu (Epinephelus spp.), ikan rambea atau ikan masakan ringan manis (Caranx spp), kakap putih (Lates calcarifer), cabeh-cabeh atau baronang (Siganus spp.), dan lain-lain, beberapa diantaranya sudah mulai kita teliti di Unsyiah.  Namun demikian, ikan yang dipilih sebaiknya yaitu yang tergolong sebagai ikan herbivora agar ketergantungan pada pakan dengan kandungan protein tepung ikan sanggup dikuranggi.
Dalam jangka pendek dominansi ikan-ikan abnormal tersebut sudah tentu tidak sanggup dihilangkan serta merta, perlu dilakukan secara bertahap, hal ini mengingat sebagian besar petani ikan kita sudah begitu bersahabat dengan ikan-ikan alien tersebut. Yang dibutuhkan yaitu adanya (sekali lagi) regulasi yang mengatur prosedur dan membatasi atau bahkan melarang pemasukan spesies ikan abnormal ke Aceh khususnya dan Indonesia umumnya dimasa depan, dan mengendalikan penyebaran lebih lanjut spesies ikan abnormal yang sudah terlanjur ada.
Menurut saya perlu ada komitmen yang tinggi terutama dari stakeholder terkait untuk memberdayakan potensi spesies ikan dan udang lokal, tentunya yang mempunyai nilai irit tinggi baik di pasar lokal maupun internasional.
Tindakan yang sanggup dilakukan dalam upaya mengakibatkan ikan lokal sebagai ikan sasaran budidaya yang diminati oleh petani ikan sehingga bisa menjadi tuan rumah di rumah sendiri, yaitu mendorong pemerintah  daerah dan perguruan tinggi khususnya Unsyiah untuk menyediakan dana penelitian yang cukup sehingga akan dihasilkan teknologi pembenihan, teknologi pakan dan teknologi pembesaran yang mapan. Sejauh ini permintaan ikan-ikan lokal, contohnya ikan keureling di pasar lokal masih sangat tinggi dan sulit dipenuhi, namun demikian pembukaan jalan masuk ke pasar global juga perlu mendapat perhatian dari pihak terkait sehingga jikalau suatu ketika nanti teknologi tepat guna ini telah berkembang dan produksi massal sudah dapatdilakukan dan kebutuhan pasar lokal telah terpenuhi maka kelebihannya sanggup diekspor.
Patut kita sadari bahwa ikan-ikan introduksi yang kita kenal ketika ini mirip ikan lele dumbo, ikan nila dan ikan mas telah dikaji berpuluh-puluh tahun lamanya oleh peneliti-peneliti  khususnya di negara-negara asal ikan tersebut, sehingga dihasilkan ikan-ikan tersebut yang kita kenal kini sebagai ikan yang gampang dipelihara, cepat besar, tahan penyakit  dan seterusnya, ini tidak lain yaitu buah dari kerja keras dari peneliti sebelumnya. Oleh lantaran itu penelitian-penelitian dasar perihal bio-ekologi, contoh reproduksi, pertumbuhan, kebiasaan makanan, penyakit dan domestikasi yaitu penting dilakukan dalam upaya mengakibatkan ikan lokal yang masih liar menjadi ikan sasaran budidaya yang diminati.
Rekruitmen tenaga penyuluh perikanan dan menempatkan mereka pribadi dengan masyarakat juga perlu ditingkatkan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan nelayan dan kesadaran akan pentingnya menerapkan cara-cara penangkapan dan budidaya ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sedikit saya ingin menyinggung industri pengolahan hasil perikanan di Aceh, bahwa dalam bidang industri pengolahan ikan Provinsi Aceh masih jauh tingggal baik dari segi teknologi maupun penemuan jenis olahannya. Kita masih bertumpu pada industri rumah tangga dengan teknologi tradisional dan belum dikelola dengan baik sehingga kualitas olahan masih rendah, jenis olahan juga masih terbatas pada ikan asin, ikan peda, ikan kayu dan ikan teri.
Untuk memberi  nilai tambah lebih pada produk-produk perikanan yang telah diusahakan secara tradisional, kedepan secara jangka pendek pembinaan secara berkelanjutan dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dengan packaging yang menarik sehingga sanggup dijual di super market-super market, tidak hanya dijajakan dipinggir jalan terpapar asap dan debu kenderaan. Secara jangka panjang investasi dari pemodal yang bergerak dalam bidang pengolahan hasil perikanan mutlak diperlukan, untuk tujuan tersebut pemerintah perlu memperlihatkan insentif bagi investor berupa kemudahan perizinan, subsidi pajak hingga penyediaan lahan dan lain-lain akomodasi yang mungkin disediakan.


 Kesimpulan
            Provinsi Aceh mempunyai memiliki potensi perikanan yang besar namun belum dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, hal ini disebabkan oleh banyak sekali macam duduk kasus yang telah diuraikan diatas dan perlu segera dituntaskan. Sektor Kelautan dan Perikanan merupakan modal dan asset Aceh untuk pembangunan dan mensejahterakan masyarakat Aceh dimasa depan.  Aceh sangat berpotensi menjadi inti dari poros maritim dunia sebagaimana yang telah dicanangkan oleh pemerintah RI. Oleh lantaran itu kerjasama semua pihak baik pemerintah, swasta, LSM dan perguruan tinggi mutlak dibutuhkan agar tujuan tersebut sanggup tercapai sehingga akan berdampak kepada peningkatan taraf hidup nelayan khususnya dan masyarakat Aceh umumnya. 

Ucapan Terimakasih
Ketua & anggota senat serta para undangan yang mulia
Pada kesempatan ini sebelum saya mengakhiri pidato pengukuhan, perkenankan saya sekali lagi mengucapkan puji dan syukur alhamdullah ke hadirat Allah SWT yang telah memperlihatkan kesempatan kepada saya untuk menggali sedikit ilmu yang Allah berikan sehingga dianugrahi jabatan akademik tertinggi sebagai Guru Besar di Fakultas Keluatan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, bagi kami Guru Besar bukan lah tujuan akhir, akan tetapi menjadi cambuk untuk terus berkerja lebih keras dan lebih produktif lagi demi kejayaan keluarga, universitas yang kita cintai ini dan tentunya masyarakat khususnya nelayan dan petani ikan, Insha Allah.
Ucapan terima kasih senantiasa disampaikan kepada pemerintah khususnya jajaran Kementerian  Teknologi Riset dan Pendidikan Tinggi, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Rektor Unsyiah Prof. Samsul Rizal, M.Eng dan Dekan FKP Prof. Adlim.  Proses pengusulan Guru Besar dimulai dari unit terkecil yaitu jadwal studi, fakultas, universitas dan Dikti melibatkan banyak pihak termasuk tiga reviewer eksternal, yaitu Prof. Usman M. Tang dari Universitas Riau, Pekanbaru, Prof. M.F. Rahardjo dari IPB Bogor dan Prof. Ambo Tuwo dari Universitas Hasanuddin, mereka yaitu pakar-pakar kelautan dan perikanan yang mempunyai reputasi nasional dan internasional. Karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan senantiasa saya berikan kepada semua pihak yang terlibat baik secara pribadi maupun tidak pribadi yang mustahil disebutkan satu per satu dalam kesempatan ini, termasuk semua sobat dan kolega saya di FKP Unsyiah.
Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada semua guru-guru saya mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, para dosen pembimbing akademik saya mulai dari S1 hingga S3, yaitu Dra. Idasari Boer, MS dan Alm. Dr. Zulkifli, M,Sc dari Universitas Riau, Prof. Roshada Hashim dari USM dan yang Istimewa untuk Prof. Siti Azizah dari Universiti Sains Malaysia pembibing saya ketika mengambil jadwal Doktor di USM Penang.  Semoga ilmu dan amal jariah ia semua mendapat pahala di sisi Allah SWT. Selain para pembimbing akademik, saya berutang budi kepada almarhum Bapak Prof. Dayan Dawood, Kakanda Drs. Azwir, M.Kn dan Bapak Prof. Syamsul Rizal, yang telah banyak membantu dan mempromosikan saya hingga menjadi dosen di Unsyiah sampai dianugerahi jabatan akademik Guru Besar. Semoga Allah membalasnya juga dengan pahala yang melimpah.

Hadirin dan hadirat yang mulia
Kebahagian hari ini berkat Rahmat Allah serta hasil dari usaha masa kemudian terutama yang dilakukan oleh kedua orang bau tanah saya. Karena itu ucapan terima kasih yang lapang dada saya persembahkan kepada ayahanda saya H. Zainal Abidin Djafaris dan ibunda saya  Hj. Nursiah yang selalu senantiasa mendoakan saya biar sukses di dunia dan di akhirat.
Penghargaan dan terima kasih yang amat istimewa saya persembahkan kepada Istri saya tercinta Nelly Feryanti, yang telah mendampingi saya dengan setia ketika suka maupun duka, dengan penuh kesabaran dalam kehidupan berumah tangga, yang selalu memperlihatkan kepercayaan, pengertian dan memahami  tugas-tugas saya yang kadang kala banyak menyita waktu keluarga. Kepada ananda tersayang Muhammad Fayyaz Almizan dan Muhammad Farel Alzizia, ayahanda berikan keberhasilan ini kepada kalian sekaligus mohon maaf atas kealpaan memperlihatkan perhatian, bimbingan dan kasih sayang. Ayahanda doakan mudah-mudahan kalian menjadi anak yang saleh berbakti kepada kedua orang tua, mempunyai kegunaan bagi agama dan bangsa.
Saya juga ingin memberikan rasa terimakasih kepada isteri saya terdahulu yang telah mendahului kami menghadap Allah dalam tragedi alam maha dahsyat tsunami tahun 2004 lalu, yaitu Alm. Rita Rahim dan kedua belum dewasa saya Alm. Muhammad Daffa  dan Alm. Muhammad Danish yang telah banyak berkorban diawal-awal karir saya sebagai dosen di Unsyiah. Semoga mereka semua jawaban syurga dari Allah SWT.
Ucapan terimakasih yang lapang dada juga saya sampaikan kepada bapak dan ibu mertua saya  Bapak H. Azhar dan Ibunda Andian,  serta Ayahanda Alm. H. Sudirman, alm. Papanda  H. Abdurrahim dan Almh ibunda Hj. Rusmini, atas doa dan bimbingannya sehingga kami berhasil. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang berlimpah.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada adik-adik saya, Yusnaida, Afrizal, Rahmad, Irham  dan almh. Alvina. Kakak dan adik ipar saya  Hendra, Suci, Nurul, Uning Teti, Sugeng, Eva dan Syawaril.
Dorongan semangat dan kerjasama dari sahabat-sahabat saya yang tiba dari jauh dan hadir diruangan ini maupun yang tidak sanggup hadir juga saya ucapkan terimakasih.  Kepada mahasiswa-mahasiswa saya baik mahasiswa S1, S2 dan S3 yang telah banyak membantu  saya dalam melaksanakan penelitian baik dilapangan maupun di laboratorium sangat  saya hargai dan saya besar hati dengan anda semua, semoga kesuksesan juga menyertai kalian semua.  Akhirnya kepada seluruh civitas akademika, undangan dan hadirin yang terhormat, saya ucapkan terima kasih atas perhatian dan kesabaran mengikuti ucapara pengukuran guru besar ini. Mohon maaf atas segala kekurangan, semoga Allah selalu memperlihatkan taufiq dan hidayahnya kepada kita semua. Amin   ya rabbal alamin,

Wassalamualaikum warahmatullahi Warabarakatuh                        


Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1dandaftar=1danid_subyek=23dannotab=1.Tanggal akses, 18 Agustus 2012.
Barlow, C.G and A. Lisle. 1987. Biology of the nile perch Lates niloticus (Pisces: Centropomidae) with reference to its proposed role as a sport fish in Australia. Biological Conservation, 39:269-289.
Bryant, D., D. Nielsen and L. Tangley. 1997. The last frontier forests: ecosystems & economies on the edge. Technical report, World Resources Institute, Forest Frontiers Initiative, Washington, DC.
Casal, C.M.V. 2006. Global documentation of fish introductions: the growing crisis and recommendations for action. Biological Invasions, 8: 3–11.
Herdiana, Y. 2010, Lunturnya Terumbu Karang Kami, http://majalah.tempointeraktif.com/, diakses tanggal 12 November 2010.
ISSG. 2004. 100 of the world’s worst invasive alien species. http://www.issg.org/booklet.pdf. November 29, 2008.
Mardira, S. 2015. Miliki potensi 1,8 juta/ton, perikanan Aceh gres tergarap 10%. http://economy.okezone.com/read/2014/03/09/320/952272/miliki-potensi-1-8-juta-ton-perikanan-aceh-baru-tergarap-10. Diakses pada 4 Februari 2015.
Muchlisin, Z.A., Q. Akyun, S.Rizka, N. Fadli, M.N. Siti-Azizah. 2015. Ichthyofauna of Tripa Peat Swamp Forest, Aceh Province, Indonesia. CheckList, 11(2): 1560.
Muchlisin, Z.A. 2013. Study on potency of freshwater fishes in Aceh waters as a basis for aquaculture and conservation development programs. Jurnal Iktiologi Indonesia, 13(1): 91-96.
Muchlisin, Z.A. N. Fadli, A.M. Nasution, R. Astuti. 2013.Catatan Penelitian: Persepsi nelayan terhadap kebijakan subsidi perikanan dan konservasi di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik, 2(1): 33-39.
Muchlisin, Z.A. 2012. The first report on the introduced freshwater fishes in Aceh waters, Indonesia. Archives of Polish Fisheries, 20(2): 129-135.
Muchlisin, Z.A., N. Fadli, A.M. Nasution, R. Astuti, Marzuki, D. Amuni. 2012. Analisis subsidi materi bakar minyak (BBM) solar bagi nelayan di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik, 1(2): 107-113.
Muchlisi, Z.A. 2011. Tantangan pengembangan sumberdaya insan di sektor kelautan dan perikanan di Provinsi Aceh. Makalah di sampaikan pada Konsultasi Regional (Konreg) “Produk Domestik Regional Bruto dan Informasi Sosial Ekonomi (PDRB-ISE) Wilayah  Se-Sumatra Tahun 2011” Banda Aceh, 22-24 Juni 2011.
Muchlisin, Z.A., N. Fadli, E. Rudi, T. Mendo, M.N. Siti Azizah. 2011. Estimation of production musim of the depik, Rasbora tawarensis (Teleostei, Cyprinidae), in Lake Laut Tawar, Indonesia. AACL Bioflux, 4(5): 590-597.
Muchlisin, Z.A., M. Musman and M.N. Siti Azizah. 2010. Spawning seasons of Rasbora tawarensis in Lake Laut Tawar, Aceh Province, Indonesia. Reproductive Biology and Endocrinology, 8:49.
Muchlisin, Z.A. and M.N. Siti-Azizah. 2009. Diversity and distribution of freshwaters fish in Aceh waters Northern Sumatera Indonesia. International Journal of Zoological Research, 5(2): 62-79.
Mussawir. 2009. Analisis masalah kemiskinan nelayan tradisional di Desa Padang Panjang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam. Tesis Magisyer Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Purnamawati, D. 2007. Selamatkan hutan Aceh dengan moratorium logging. Harian Berita Sore, Edition 7 June 2007.
Rudi, E., S.A. Elrahimi, T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan, P. Shinta, S.J. Campbell, J. Tamelander. 2009. Reef fish status in northern Acehnese reef based on management type. Biodiversitas, 10: 87–92.
Rudi, E., T. Iskandar, N. Fadli, H. Hidayati. 2012. Impact of mass coral bleaching on reef fish community and fishermen catches at Sabang, Aceh Province, Indonesia. Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation Bioflux, 5(5): 309-320.
Sarong, M.A., Muchlisin, Z.A., Jihan, C and Fadli, N. 2014. Lead, cadmium and zinc contamination on the oyster (Crosastrea sp) harvested from estuary of Lamnyong River, Banda Aceh city, Indonesia. AACL Bioflux, 8(1): 1-6.
Ali Sarong, Muchlisin Z.A. Mawardi A.L., Adlim M. 2013. Cadmium concentartion in three species of freshwater fishes from Keureto River, Northern Sumantra, IndonesiaAACL Bioflux 6(5):486-491.
Yusuf, Q. 2003. Empowerment of Panglima Laot in Aceh. International workshop on Marine Science and Resource. Banda Aceh, 11-13 March, 2003.