Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Optimalisasi Hasil Karya Penelitian Untuk Publikasi Ilmiah Internasional

OPTIMALISASI HASIL KARYA PENELITIAN UNTUK PUBLIKASI ILMIAH INTERNASIONAL

Z.A. Muchlisin
Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. Email: muchlisinza@unsyiah.ac.id

Abstract
Publikasi ilmiah yaitu rangkaian dari suatu penelitian dan kegiatan tersebut tidak sanggup dilepaskan dari kehidupan seorang dosen dan mahasiswa. Namun sayangnya sejauh ini kinerja publikasi ilmiah dosen  Universitas Syiah Kuala khususnya dan Indonesia umumnya masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor baik faktor internal, yaitu ; kemauan dan kapasitas dosen atau  mahasiswa;  faktor ekternal antara lain;  peraturan atau undang-undang yang tidak mendukumg, kemudahan kurang,  dan penghargaan rendah. Untuk meningkatkan jumlah publikasi ilmiah di jurnal internasional Unsyiah perlu melaksanakan tindakan yang extraordinary yang terencana. Disini penulis mengulas beberapa penyebab dan solusi untuk mengatasi kasus tersebut, mudah-mudahan sanggup menjadi pandangan gres bagi pembaca khususnya dosen dan pimpinan Unsyiah.

Kata Kunci: Scopus, Jurnal, Insentip, Dosen dan Mahasiswa


PENDAHULUAN
Bagi seorang dosen atau peneliti publikasi yaitu suatu hal yang sangat penting, dan yang perlu diingat juga bahwa suatu penelitian belum selesai sebelum hasilnya dipublikasikan, dan salah satu media publikasi ilmiah yang paling populer yaitu jurnal (Muchlisin, 2013). Tujuan publikasi ilmiah ini antara lain yaitu untuk penyebarluasan hasil penelitian, menyebarkan IPTEK, meningkatkan reputasi, prestasi dan prestise si penulis dan forum dimana si penulis berada. Sedangkan fungsi jurnal ilmiah yaitu sebagai media registrasi, diseminasi, pengarsipan dan sertifikasi hasil-hasil penelitian atau dengan kata lain sebagai jembatan antara penulis dan pembaca (Rifai, 2012). Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa jurnal ilmiah menduduki strata tertinggi berbandingkan dengan jenis publikasi lainnya, hal ini disebabkan lantaran temuan yang dipublikasikan mempunyai tingkat kebaruan yang tinggi dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya, serta telah melewati serangkain proses penilaian yang ketat dari pakar di bidang tersebut (peer review) .
Seseorang yang telah mengklaim dirinya seorang pakar maka sepatutnyalah orang tersebut telah mengatakan bantuan yang signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan atau teknologi di bidangnya masing-masing, dan ini sanggup diukur salah satunya yaitu dari publikasi internasional yang telah dilakukannya dan seberapa dampaknya terhadap perkembangan ilmu dibidang bersangkutan, jadi  tidak hanya berbicara perihal jumlah akan tetapi juga menyangkut perihal kualitas. Kualitas suatu publikasi ilmiah salah satunya diukur dari berapa banyak pakar lainnya mengutip goresan pena tersebut dan mempublikasikannya kembali di jurnal internasional (Muchlisin, 2013), selain itu reputasi jurnal juga menentukan kualitas artikel yang diterbitkan. Oleh lantaran itu pemilihan jurnal ilmiah yang berkualitas juga penting menjadi perhatian seorang peneliti biar tidak terjebak pada jurnal abal-abal (predatory journals).
Seorang peneliti juga perlu menjadi anggota asosiasi bidang ilmu masing-masing baik ditingkat nasional maupun internasional. Hal ini penting dilakukan biar dikenal dan diakui kepakarannya oleh masyarakat global (global society) bidang ilmu bersangkutan.
Seorang peneliti yang telah dikenal dan go international, ini sanggup diukur oleh seberapa sering yang bersangkutan diminta oleh  masyarakat global untuk menilai (mengreview) naskah-naskah dari banyak sekali pejuru dunia sebelum diterbitkan di jurnal ilmiah, dan bahkan diundang untuk menjadi editor diberbagai jurnal internasional yang bereputasi.
Namun demikian, berdasarkan saya dalam lingkup kita (Universitas Syiah Kuala bahkan Indonesia) jangankan memperdebatkan kualitas, dari segi jumlah pun kita masih sangat tertinggal bahkan dari negara kita serumpun Malaysia, yang kononnya dulunya mereka ”berguru” pada kita. Oleh lantaran itu untuk tahap awal Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) ada baiknya memfokuskan perjuangan untuk meningkatkan jumlah terlebih dahulu sambil memperbaiki kualitas secara sedikit demi sedikit (Muchlisin, 2013).

BEBERAPA MASALAH DALAM PUBLIKASI INTERNASIONAL
Menurut data yang terekam di database Scimago Journal & Country Rank/SJR (www.scimagojr.com),  pada 19 Februari 2014  posisi Indonesia menduduki peringkat 61 dibawah Cuba, jauh dibawah  Malaysia yang menduduki peringkat 40. Posisi Indonesia naik 2 tingkat kalau dibandingkan pada 2013 lalu. Yang membanggakan kita orang Asia yaitu China dan Jepang termasuk 5 Besar (Top  5) dalam hal publikasi internasional. Patut dicatat bahwa China dan Jepang bukanlah negara berbasis Bahasa Inggris namun jumlah publikasinya mengalahkan Perancis dan Canada. Oleh lantaran itu kendalam bahasa tidak sanggup dijadikan alasan berpengaruh minimnya publikasi Indonesia khususnya Unsyiah.
Menurut data yang terekod di Scopus (www.scopus.com),  sampai 21 Februari 2014, Unsyiah telah mencatat 371 judul publikasi ilmiah internasional yang terindek di Scopus,  beda tipis 1 judul dengan Universitas Andalas dengan 372 judul. Yang patut kita catat bahwa posisi Unsyiah tidak pernah berubah selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2009 - 2013) yaitu posisi 2 di Sumatera di bawah Universitas Andalas (Unand).
Namun semenjak Oktober 2013 Unsyiah berhasil mengejar Unand, namun sayangnya Unsyiah belum berhasil melepaskan diri dari bayang-bayang Unand atau memperlebar jarak kondusif sehingga kedua Universitas ini terlibat persaingan yang sangat ketat, beberapa kali Unand menyalib kembali Unsyiah dan sebaliknya, hingga ketika paper ini kami tulis (21 Februari 2014, Pukul 6 sore) Unand kembali mengungguli Unsyiah dengan beda 1 judul saja. Jika tidak ada tindakan yang ektra keras dari dosen dan pimpinan Unsyiah kondisi ini akan terus berlanjut hingga simpulan tahun, dan bahkan saya khawatir Unand akan kembali meninggalkan dan memperlebar jarak kondusif dengan Unsyiah, untuk itu kita perlu kerja lebih extra lagi.
Kini timbul pertanyaan, ”Apa kompensasi bagi dosen yang mau bekerja keras untuk menjadikan Unsyiah Nomor 1 di Sumatera dan menjaga jarak dengan Unand?. Pertanyaan ini mungkin bisa dijawab oleh pimpinan Unsyiah dalam hal ini Rektor Unsyiah.  Namun dalam beberapa kali pertemuan yang diinisiasikan oleh UPT Perpustakaan Unsyiah, sebetulnya sudah terjawab bahwa Rektor Unsyiah akan melanjutkan ”Insentif’ bagi dosen yang berhasil mempublikasikan papernya di jurnal internasional, Pak Rektor bahkan sesumbar untuk menaikkan jumlah anggaran untuk insentif tersebut (kita doakan bersama semoga terkabulkan!). Tahun kemudian lebih lebih dari 50 orang telah mendapat insentif tersebut dengan jumlah bervariasi, mudah-mudahan tahun ini bisa lebih banyak lagi. Beberapa masukan biar kreteria penilaian untuk insentif publikasi disederhanakan, contohnya asalkan jurnal terindek di Scopus, berhak mendapat insentif,  mungkin perlu dipertimbangkan. Sehingga tujuan kita memperlebar jarak jumlah publikasi yang terindek di Scopus dengan Unand sanggup tercapai.
Secara umum jumlah publikasi Unsyiah naik signifikan dalam 3 tahun terakhir (Tabel 1), namun sayangnya kontributor (penulis) didominasi oleh beberapa orang saja (orang itu-itu saja), jarang muncul penulis baru, dan sayangnya beberapa orang yang dulu aktif beberapa tahun belakangan kurang atau bahkan tidak produktif lagi , mungkin merasa sudah nyaman dengan kedudukan yang telah dicapai.
Oleh lantaran itu secara umum kinerja publikasi dosen Unsyiah masih rendah, kalau dibandingkan dengan jumlah dosen yang ada dengan rekod publikasi ketika ini maka  diperoleh rasio 1: 25 (satu paper untuk 25 orang dosen), dan dari 1500 orang dosen hanya 11% saja yang berhasil mencatatkan namanya sebagai kontributor.
Rendahnya kinerja publikasi dosen Unsyiah mumgkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

 (1) Menulis belum menjadi budaya di universitas-univeritas di Indonesia, ternasuk Unsyiah,  budaya ilmiah di nIndonsia  masih didominasi dalam bentuk verbal (Anshori, 2012).
 (2) Beberapa kebijakan Dikti  dinilai juga paradok dengan tujuan yang ingin dicapai, contohnya pembatasan jumlah publikasi ilmiah yang diakui dan status publikasi selama sekolah juga belum jelas, walaupun sudah ada Surat Dikti No. No. 2189/E4.3/2013 Tanggal 13 Desember 2013 kepada Rektor  UGM, namun belum sepenuhnya dijalankan oleh Tim PAK, salah satu  alasan belum ada Juknis dst.
 (3) Kebijakan Tim PAK universitas yang  kadang-kadang menjadikan kontraversi lantaran sering menafsir ulang aturan yang masih diwilayah ”abu-abu” dan bahkan belum adanya kesepahaman pemahaman terhadap aturan Dikti di kalangan tim PAK saya duga juga menjadi penyebab turunnya minat atau semangat dosen untuk publikasi di jurnal internasional dan bahkan nasional.
(4) Fasilitas dan kenyamanan dikampus yang belum mendukung, ada fakultas yang kemudahan dasar bagi mahasiswa saja belum terpenuhi, apalagi kemudahan untuk dosen. Kebijakan Rektor dalam menyusun anggaran berbasis kebutuhan mungkin sanggup menuntaskan kasus ini kedepan. Selama ini pembagian ”kue” anggaran berdasarkan jumlah mahasiswa terbukti menciptakan beberapa fakultas miskin tidak sanggup memenuhi standar minimal yang sepatutnya menjadi tanggung jawab universitas, bukan Prodi atau Fakultas semata.
(5) Sumber dana penelitian juga masih terbatas, walaupun secara umum jumlah dana penelitian naik cukup signifikan dari tahun ke tahun, (6) Dosen Unsyiah lebih banyak  memposisikan diri atau mengambil kiprah sebagai guru (pengajar), bukan  sebagai peneliti, sebagian besar waktu habis untuk mengajar. Data yang ada memperlihatkan hanya 15% dosen Unsyiah yang berhasil mendapat dana penelitian pada tahun 2012 (Lemlit Unsyiah, 2013). Seharusnya untuk menjadi universitas riset sebagaimana yang dicita-citakan maka penelitian dan publikasi harus lebih lebih banyak didominasi atau setidaknya berimbang, dan pengajaran harus berbasiskan riset, artinya bahan yang diajarkan yaitu hasil-hasil riset terbaru. Dengan mengacu kepada aturan Dikti yang gres nanti memang porsi penelitian dan publikasi akan menjadi lebih besar (>45%) mudah-mudahan sanggup menjadi pemacu bagi peningkatan jumlah publikasi.
(7) Kurikulum terutama untuk kegiatan Master dan Doktoral belum mengarah kepada riset yang komprehensif, masih lebih banyak didominasi dengan pengajaran dan tutorial, 80% masih dari pengajaran, hanya 20% saja untuk penelitian. Dan ironisnya lagi dosen-dosen yang sudah overload mengajar di S1 ”dibebani” lagi dengan mengajar di S2 atau S3 pada hari Sabtu bahkan hari minggu, tidak ada waktu tersisa untuk pengembangan diri (menulis proposal hibah, meneliti, membaca jurnal dan menulis paper).
(8) Produktifitas Guru Besar Unsyiah masih sangat rendah. Guru Besar yaitu tonggak utama kemajuan riset disebuah universitas, Guru Besar (GB) menjadi harapan dan dipudak merekalah dibebankan tugas-tugas meneliti dan menulis yang lebih besar dan tentunya juga kiprah pengajaran, dengan harapan yang demikian besar maka tidak heran kalau pemerintah mengatakan penghargaan yang juga cukup besar dari segi finansial bagi seorang GB (untuk ukuran orang Indonesia), namun sayangnya hasilnya belum mengembirakan. Dari data yang terekod di Scopus hanya 6 orang GB (15%) dari 40 orang GB Unsyiah atau dengan total bantuan 6% dari 371 judul yang telah terekod, atas nama Unsyiah (mungkin ada beberapa diantara GB yang pernah tercatat di Scopus tetapi tidak membawa nama Unsyiah, mungkin mereka lakukan ketika studi).
Yang cukup mengembirakan bahkan tiba dari beberapa dosen dengan kualifikasi magister yang telah mencatatkan namanya masing-masing diatas 10 judul, inilah calon kontributor Unsyiah dimasa depan, semoga saja. Mudah-mudahan mereka-mereka ini cepat mendapat kesempatan melanjutkan studi S3 atau bisa cepat selesai bagi yang sedang studi.
(9) Potensi Mahasiswa Pascasarjana Unsyiah belum dimaksimalkan. Kewajiban publikasi internasional bagi calon Master dan Doktor belum sepenuhnya dijalankan, dan masih ada tawar menawar antara PPS dengan Prodi-Prodi. Menurut saya untuk seorang calon Doktor  khususnya tidak ada tawar menawar “wajib publikasi”. 
Patut kita sadari juga bahwa calon mahasiswa Pascasarjana Unsyiah secara umum kualitasnya masih menyedihkan.  Mohon maaf, banyak diantara mereka yang mempunyai background dari universitas atau fakultas yang sistim pengajarannya masih perlu dipertanyakan,  skripsi atau tesisnya juga tidak terang siapa yang menulis dan siapa yang membimbing. Oleh lantaran itu kalau telah menjadi mahasiswa Pascasarjana Unsyiah, maka kewajiban kitalah untuk menciptakan mereka sanggup mencapai tahap minimum seorang Master atau Doktor, kalau belum mencapai standar tersebut, maka dengan sangat menyesal mereka dihentikan “dilepaskan”, lantaran kalau telah lepas kedalam masyarakat mereka akan menanggalkan simbol-simbol usang mereka, dan mereka akan meng “klaim” sebagai alumni Unsyiah, sementara kualitasnya mengecewakan, maka yang malu Unsyiah juga. Dan salah satu standar yang sanggup diterapkan yaitu publikasi internasional;
(10) Masih lemahnya pembimbingan untuk mahasiswa S2 dan S3. Sebagian besar mahasiswa Pascasarjana Unsyiah yaitu mahasiswa part time, mereka hanya aktif dikampus pada ujung ahad (week end), sementara hari-hari tersebut yaitu hari istrihat bagi dosen, kesudahannya yaitu tidak semua dosen membimbing dengan serius pada hari-hari tersebut. Sangat sedikit mahasiswa Pascasarjana mau mengorbankan hari kerjanya (Senin-Kamis) untuk tiba ke kampus berkonsultasi dengan pembimbingnya, tapi malah  sebaliknya si pembimbing lah yang harus menyerah memakai waktu istirahat/libur mereka untuk konsultasi/pembimbingan mahasiswa, sungguh dunia pendidikan yang absurd saya pikir, entah kapan Unsyiah bisa keluar dari kondisi ini!.
            Tidak optimalnya pembimbinga juga terjadi lantaran dibeberapa Prodi Magister, seorang dosen membimbing terlalu banyak, bahkan ada yang membimbing 10-15 orang mahasiswa dalam 1 semester, bahkan ada Prodi yang saya dengar harus meluluskan mahasiswa magisternya sempurna waktu, kalau tidak maka proyek kerjasama tidak dilanjutkan. Pengalaman saya membimbing di beberapa Prodi Magister, terus terang saya katakan bahwa lebih gampang membimbing mahasiswa S1, bukan lantaran topik kajian akan tetapi kapasitas mahasiswa yang pas-pasan. Dalam kondisi demikian, saya menilai saya hanya sanggup membimbing dengan baik sebanyak 5 mahasiswa pasca saja setiap semester.
Dengan kondisi tersebut maka harapan menghasilkan hasil penelitian  mahasiswa pascasarjana yang sanggup dipublikasikan di jurnal internasional yaitu isapan jempol belaka.
(11)   Alasan klasik lemah penguasaan bahasa. Beberapa dosen Unsyiah memberi alasan hambatan bahasa sehingga sehingga mereka tidak pernah menulis di jurnal internasional. Menurut saya ini alasan yang tidak sepenuhnya benar, kalau tidak percaya cuba kita periksa, adakah dosen yang mengatakan alasan penguasaan bahasa asing mereka rendah sehingga mereka tidak sanggup menulis di jurnal internasional tersebut mempunyai banyak publikasi dalam bahasa ibu (Bahasa Indonesia), lantaran budi mereka tidak bisa menulis dalam bahasa asing akan tetapi dalam bahasa ibu (Indonesia) tentu bisa, tapi kenyataannya, ehm…tidak ada juga!!!. Menurut saya bahasa bukan kendala. Banyak cara sanggup ditempuh, diantaranya memperkuat kerjasama dengan peneliti asing sehingga sanggup membantu koreksi bahasa atau setidaknya diikutkan dalam publikasi bersama, walau hanya sebagai co-author dengan nilai KUM kecil, namun sangat bernakna bagi Unsyiah. Peran sentra bahasa Unsyiah juga saya nilai belum maksimal dalam membantu para dosen mengatasi alasan klasik ini. Jika Pusat Bahasa masih enggan terjun eksklusif mengatasi kasus ini, maka kiprah dan fungsinya sanggup diambil alih oleh “Badan Percepatan Publikasi”.
(12) Ketrampilan dosen dalam menentukan jurnal yang sempurna masih rendah. Tidak jarang kita dengar dosen mengeluh, tidak tahu harus mengirim kemana papernya dan bagaimana mengakses, mengirim dan merespond komentar reviewer.  Apalagi ketika ini banyak jurnal yang diduga predator yang siap memangsa dosen-dosen yang tidak hati-hati dan cermat.
            Jika yang dituju yaitu jurnal yang terindek di Scopus maka kita sanggup menentukan jurnal melalui website: www.scimagojr.com, sesudah jurnal dipilih maka langkah selanjutnya yaitu melaksanakan ferifikasi apakah jurnal tersebut masuk dalam daftar hitam jurnal yang diduga predator atau tidak, salah satu langkah yang sanggup dilakukan yaitu melihat apakah publisher jurnal tersebut ada dalam list Prof. Jeffry Beall melalui link, http://scholarlyoa.com/2014/01/02/list-of-predatory-publishers-2014/, kalau ternyata masuk dalam list tersebut maka sebaiknya tinggalkan dan pilih yang lainnya.
            Patut kita ketahui bahwa beberapa jurnal yang diindek oleh Scopus juga tidak terlepas dari issue predatory juga, banyak hal yang menyebabkannya, oleh lantaran kita perlu ektra hati-hati. Kita juga perlu berhati-hati banyak juga jurnal palsu, dengan mengambil nama hampir sama atau bahkan sama persis dengan jurnal top yang sudah ada, untuk itu sanggup kita identifikasi melalui nomor ISSNnya, nama mungkin bisa sama namun ISSN niscaya berbeda.

BEBERAPA SOLUSI YANG DITAWARKAN UNTUK MENGOPTIMALKAN PUBLIKASI INTERNASIONAL UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Mengingat potensi yang dimiliki demikian besar (lebih dari 1500 dosen dan lebih dari 30.000 mahasiswa) dan kesepakatan dari pimpinan Unsyiah untuk mendukung publikasi internasional, sepatutnya Unsyiah sanggup menjadi universitas besar di Indonesia, tidak hanya di Sumatera, terutama dalam publikasi ilmiah. Untuk itu sekali lagi saya mengatakan beberapa ide biar Unsyiah menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia dalam hal publikasi Internasional:
(1) PROYEK SATU DOSEN, SATU PUBLIKASI INTERNASIONAL.  Jika kegiatan ini mau dijalankan oleh Unsyiah maka harus bersiklus dengan baik dengan sasaran yang terukur, untuk itu perlu disusun strategi, berupa seni administrasi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Untuk menyusun seni administrasi dan menjalankannya perlu dibuat suatu tubuh yang disebut sebagai BADAN PERCEPATAN PUBLIKASI INTERNASIONAL UNSYIAH atau sejenisnya.
            Satu kabar gembira tiba dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), menyadari mereka tertinggal jauh dengan beberapa fakultas menyerupai Teknik, FMIPA dan bahkan FKP yang gres terbentuk, FKH telah membantuk suatu task force percepatan publikasi internasional yang kabarnya akan dibiayai melalui BOPTN.
Ide atau usulan akan perlunya badan/bidang/tim untuk mempercepat jumlah publikasi internasional Unsyiah sudah saya sampaikan semenjak 2009, yaitu pada salah satu workshop yang diadakan oleh PPS, dan sesudah itu beberapa kali saya lontarkan melalui Milis Jambo, namun jawaban baik dari pihak terkait masih belum mengembirakan.
Kita berharap apa yang sudah dilakukan FKH akan diikuti oleh fakultas yang lain di lingkungan Unsyiah dan akan lebih baik lagi kalau diambil alih oleh universitas, contohnya melalui Lembaga Penelitian (Lemlit). 
Cuba kita bayangkan dalam 3-5 tahun mendatang Unsyiah sanggup menghasilkan 1500 judul publikasi internasional, secara otomatis Unsyiah akan masuk dalam 5 besar di Indonesia. Sejarah akan mencatat dengan tinta emas bantuan atau perjuangan rektor yang menjalankan kegiatan tersebut, jadi jangan ragu, segera dihukum he..
(2)  Revitalisasi kreteria calon Tim PAK. Kedepan berdasarkan saya dosen yang dipilih atau ditujuk untuk duduk dalam tim PAK universitas haruslah dosen-dosen  bepengalaman luas dalam publikasi terutama di level internasional, tidak  cukup hanya dilihat dari jabatan fungsional yang dimiliki semata, tetapi juga dapat dipercaya dan reputasinya. Logikanya bagaimana mungkin bisa menilai publikasi internasional orang lain kalau mereka sendiri tidak pernah publikasi.
Orang-orang yang telah dipercaya sebagai anggota Tim PAK tersebut selain harus memahami dan berpegang kepada aturan juga harus bijak dalam memutuskan sesuatu dan tidak menciptakan penafsiran-penafsiran sendiri terhadap aturan yang sebetulnya sudah jelas. Jika tidak maka kenaikan pangkat/fungsional dosen Unsyiah akan banyak yang terhambat, yang rugi Unsyiah juga, selain itu juga telah mengagalkan planning atau kegiatan Rektor Unsyiah untuk mencetak 200 Guru Besar di Tahun 2020 mendatang.
(3) Melakukan revitalisasi dan penilaian ulang terhadap sistim pendidikan di kegiatan Master dan Doktoral. Salah satunya yaitu dengan kegiatan Master atau Ph.D  by research mungkin pilihan terbaik untuk menuju universitas riset. Beberapa universitas top di Indonesia, sudah mengatakan kegiatan ini, Unsyiah kapan mau memulainya? Atau jangan-jangan sudah ada?!, Selamat kalau demikian! Jika belum, ketika inilah waktunya!.
(4) Standarisasi tenaga pengajar di Pascasarjana Unsyiah, untuk menjadi pengajar dan pembimbing tesis tidak hanya dilihat dari kualifikasi pendidikan atau jabatan fungsional, namun yang lebih penting yaitu mempunyai pengalaman publikasi internasional sekurangnya dalam 3 tahun terakhir. Menurut Permenpan No. 46 Tahun 2013. Dosen dengan kualifikasi S2 dengan jabatan fungsional Lektor Kepala sanggup ikut membantu mengajar dan membimbing di Program S2 dan membantu di Program S3. Namun berdasarkan saya untuk menjadi Pembimbing perlu aturan suplemen yaitu wajib mempunyai publikasi internasional baik yang bergelar S2 maupun S3, apalagi Professor.
            Bagaimana mungkin ada keberanian bagi seorang dosen untuk mendesak mahasiswanya biar menulis di Jurnal Internasional, atau bagaimana mungkin bisa membimbing  dengan baik sehingga bisa dihasilkan paper yang layak ke jurnal interasional, kalau si dosen sendiri tidak pernah lakukannya.
 (5) Dikti perlu memikirkan atau mengevaluasi ulang beberapa kebijakan yang kontra produktif diantaranya telah saya utarakan diatas. Perlu pembatasan kiprah Dikti sebagai regulator tidak perlu masuk jauh  masuk ke wilayah eksekutor, universitas perlu diberikan wewenang yang lebih luas sebagai eksekutor lantaran universitaslah yang apa yang terbaik untuk dirinya n(untuk dosen dan mahasiswa). Beberapa wewenang Dikti perlu didelegasikan ke universitas yang dinilai bisa dan kebiasaan Dikti mengeluarkan aturan/edaran yang disertai bahaya dan menaku-nakuti sepatutnya perlu dihindari, yang patut kita sadari bahwa banyak pejabat Dikti berasal dari universitas juga, jadi saya nilai tidak sepatutnya berlaku demikian. 
(6) Pelatihan yang kontinyu. Perlu dilakukan training yang berterusan bagi semua dosen, semua dosen biar diberi peluang untuk ikut training penulisan artikel ilmiah secara bergilir. Dalam training ini perlu lebih ditekankan pada aspek praktisnya yaitu tip dan trik. Peran ini sanggup dilakukan oleh Lemlit. Sepengetahuan saya kegiatan ini sudah dilakukan oleh Unsyiah melalui Lemlit, namun perlu lebih intensif lagi.

PENUTUP
            Demikian pemikiran saya terkait optimalisasikan publikasi internasional, namun saya menyadari pemikiran saya mungkin saja ada keliru dan tidak sejalan dengan pemikiran pembaca, untuk itu saya mohon maaf.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Anshori, D.S. 2012. Mendongkrak Publikasi Karya Ilmiah. Harian Umum  Pikiran Rakyat Bandung. http://berita.upi.edu/2012/02/14/mendongkrak-publikasi-karya-ilmiah/
  2. Karsidi, R. 2013. Dosen Bergelar Doktor Minim di Indonesia. Lampost.co. http://lampost.co/berita/dosen-bergelar-doktor-minim-di-indonesia.
  3. Lemlit Unsyiah. 2013. Laporan Rapat Kerja Lembaga Penelitian universitas Syiah Kuala 2013. Lembaga Penelitian Unsyiah, Banda Aceh.
  4. Muchlisin, Z.A. 2013. Menakar Produktifitas Publikasi Internasional Universitas Syiah Kuala ”Si Jantong Hatee Rakyat Aceh”. https://unsyiah.academia.edu/muchlisinza/Teaching-Documents
  5. Rifai, M. 2012.  Etika penulisan dan instruksi etik penulis. Materi training publikasi artikel ilmiah untuk jurnal internasional. Dirjen Dikti, Jakarta.
Makalah disampaikan pada Forum Inspirasi BJM Unsyiah
Tanggal 25 Februari 2014