Manusia Purba Di Zaman Praaksara
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi beberapa jenis insan purba yang pernah hidup di zaman praaksara.
1. Jenis Meganthropus
Jenis insan purba ini terutama berdasarkan penelitian von Koenigswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil rahang insan berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para hebat menamakan jenis insan ini dengan sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya insan raksasa dari Jawa. Jenis insan purba ini mempunyai ciri rahang yang berpengaruh dan badannya tegap. Diperkirakan makanan jenis insan ini ialah tumbuh-tumbuhan. Masa hidupnya diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
2. Jenis Pithecanthropus
Jenis insan ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di bersahabat Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi masih terlihat tanda tanda kera. Oleh alasannya ialah itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya insan simpanse yang berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus mojokertensis. Jenis insan purba yang juga populer sebagai rumpun Homo erectus ini paling banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis insan purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.
3. Jenis Homo
Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis insan Homo ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi juga masih menonjol, sekalipun tidak semenonjol jenis Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan insan sekarang. Hidup dan perkembangan jenis insan ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu. Tempat-tempat penyebarannya tidak hanya di Kepulauan Indonesia, tetapi juga di Filipina dan Cina Selatan.
Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fisik, volume otak maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan insan modern. Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan ‘manusia bijak’ dikarenakan telah lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan alam. Bagaimanakah mereka muncul ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke banyak sekali penjuru dunia sampai dikala ini? Para hebat paleoanthropologi sanggup melukiskan perbedaan morfologis antara Homo sapiens dengan pendahulunya, Homo erectus. Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya alasannya ialah tulang belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo erectus.
Hal ini mengindikasikan bahwa secara fisik Homo sapiens jauh lebih lemah dibanding sang pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis maupun biometriks Homo sapiens memperlihatkan karakter yang lebih berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan Homo erectus. Sebagai misal, karakter evolutif yang paling signifikan ialah bertambahnya kapasitas otak. Homo sapiens mempunyai kapasitas otak yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yang jauh lebih lingkaran dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang mempunyai tengkorak panjang dan rendah, dengan kapasitas otak 1.000 cc.
Segi-segi morfologis dan tingkatan kepurbaannya memperlihatkan ada perbedaan yang sangat aktual antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut. Homo sapiens jadinya tampil sebagai spesies yang sangat tangguh dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan dengan cepat menghuni banyak sekali permukaan dunia ini.
Berdasarkan bukti-bukti penemuan, sejauh ini insan modern awal di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara paling tidak telah hadir semenjak 45.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, kehidupan insan modern ini sanggup dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu (i) kehidupan insan modern awal yang kehadirannya sampai kiamat es (sekitar 12.000 tahun lalu), kemudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan insan modern yang lebih belakangan, dan berdasarkan karakter fisiknya dikenal sebagai ras Austromelanesoid. (iii) mulai di sekitar 4000 tahun kemudian muncul penghuni gres di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia. Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk insan ini tergolong dalam ras Mongolid.
Beberapa spesimen (penggolongan) insan Homo sapiens sanggup dikelompokkan sebagai berikut,
a. Manusia Wajak
Manusia Wajak (Homo wajakensis) merupakan satu-satunya temuan di Indonesia yang untuk sementara sanggup disejajarkan perkembangannya dengan insan modern awal dari final Kala Pleistosen. Pada tahun 1889, insan Wajak ditemukan oleh B.D. van Rietschoten di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat maritim Campurdarat, bersahabat Tulungagung, Jawa Timur. Sartono Kartodirjo (dkk) menguraikan tentang temuan itu, berupa tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas leher. Temuan Wajak itu ialah Homo sapiens. Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bab mulutnya menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur kening nyata. Tengkorak ini diperkirakan milik seorang wanita berumur 30 tahun dan mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890 di kawasan yang sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga busur kening yang nyata. Pada tengkorak pria perlekatan otot sangat nyata. Langit-langit juga dalam. Rahang bawah besar dengan gigigigi yang besar pula. Kalau menutup gigi muka atas mengenai gigi muka bawah. Dari tulang pahanya sanggup diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.
Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa insan wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid. Diperkirakan dari insan Wajak inilah sub-ras Melayu Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid sekarang. Hal itu sanggup dilihat dari ciri tengkoraknya yang sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka ke belakang. Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh alasannya ialah sangat datar dan pipinya sangat menonjol ke samping. Beberapa ciri lain juga memperlihatkan ciri-ciri kedua ras di atas.
Temuan Wajak memperlihatkan pada kita bahwa sekitar 40.000 tahun yang kemudian Indonesia sudah didiami oleh Homo sapiens yang rasnya sukar dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat sekarang, sehingga insan Wajak sanggup dianggap sebagai suatu ras tersendiri. Manusia Wajak tidak eksklusif berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin tahapan Homo neanderthalensis yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dari Homo neanderthalensis di kawasan Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yang mungkin berevolusi ke arah Homo yang ditemukan di Indonesia. Manusia Wajak itu tidak hanya mendiami Kepulauan Indonesia bab Barat saja, akan tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia bab Timur. Ras Wajak ini merupakan penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yang kemudian kita kenal sekarang. Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih bersahabat dengan sub-ras Melayu-Indonesia. Hubungannya dengan ras Australoid dan Melanesoid kini lebih jauh, oleh alasannya ialah kedua sub-ras ini gres mencapai bentuknya yang kini di tempatnya yang baru. Mungkin juga ras Austromelanesoid yang dahulu berasal dari ras Wajak.
b. Manusia Liang Bua
Pengumuman wacana inovasi insan Homo floresiensis pada tahun 2004 menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Sisasisa insan ditemukan di sebuah gua Liang Bua oleh tim peneliti gabungan Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman di Flores. Liang Bua kalau diartikan secara harfiah merupakan sebuah gua yang dingin. Sebuah gua yang sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang datar, merupakan kawasan bermukim yang nyaman bagi insan pada masa praaksara. Hal itu sanggup dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang berada di sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya. Liang Bua merupakan sebuah temuan insan modern awal dari final masa Pleistosen di Indonesia yang menakjubkan yang dibutuhkan sanggup menyibak asal undangan insan di Kepulauan Indonesia.
Manusia Liang Bua ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood bahu-membahu dengan Tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada bulan September 2003 lalu. Temuan itu dianggap sebagai inovasi spesies gres yang kemudian diberi nama Homo floresiensis, sesuai dengan kawasan ditemukannya fosil Manusia Liang Bua.
Pada tahun 1950-an, bahwasanya Manusia Liang Bua telah memperlihatkan data-data wacana adanya kehidupan praaksara. Saat Th. Verhoeven lebih dahulu menemukan beberapa fragmen tulang insan di Liang Bua, ia menemukan tulang iga yang berasosiasi dengan banyak sekali alat serpih dan gerabah. Tahun 1965, ditemukan tujuh buah rangka insan beserta beberapa bekal kubur yang antara lain berupa beliung dan barang-barang gerabah. Diperkirakan Liang Bua merupakan sebuah situs neolitik dan paleometalik. Manusia Liang Bua mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan rendah, berukuran kecil, dengan volume otak 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada jauh di bawah Homo erectus (1.000 cc), insan modern Homo sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada di bawah volume otak simpanse (450 cc).
Pada tahun 1970, R.P Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan penelitian beberapa kerangka insan yang ditemukan di lapisan atas, temuan itu sebanding dengan temuantemuan rangka insan sebelumnya. Hasil temuan itu memperlihatkan bahwa Manusia Liang Bua secara kronologis memperlihatkan hunian dari fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, dan Paleolitik.
Menurut Teuku Jacob, Manusia Liang Bua secara kultural berada dalam konteks zaman Mesolitik, dengan ciri Australomelanesid, yaitu bentuk tengkorak yang memanjang. Tahun 2003 diadakan penggalian oleh R.P. Soejono dan Mike J. Morwood, kolaborasi antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan University of New England, Australia. Penggalian itu menghasilkan temuan berupa sisa insan tidak kurang dari enam individu yang memperlihatkan aspek morfologis dan postur yang sejenis dengan Liang Bua 1, yang mempunyai kesamaan dengan alat-alat kerikil dan sisa-sisa hewan komodo dan spesies kerdil gajah purba jenis stegodon. Temuan itu sempat menjadi materi perdebatan mengenai status taksonominua, benarkah Manusia Liang Bua itu termasuk dalam spesies baru, yaitu Homo florensiensis, atau sebagai satu jenis spesies yang telah ada di kalangan genus Homo?
Dalam pengamatan yang lebih mendalam terhadap insan Flores itu, ternyata ada percampuran antara karakter kranial yang cukup menonjol antara karakter Homo erectus dan Homo sapiens. Seluruh karakter kranio-fasial dari Manusia Liang Bua 1 (LB1) dan Liang Bua 6 (LB6) memperlihatkan dominasi karakter arkaik yang sering ditemukan pada Homo erectus, walaupun beberapa aspek modern Homo sapiens juga sangat terlihat jelas. Namun demikian, karakter Homo sapiens hendaknya dilihat sebagai atribut tingkatan evolusi dalam spesies ini. Bila dikaitkan dengan masa hidup Manusia Liang Bua sekitar 18.000 tahun yang lalu, maka LB 1 dan LB 6 seharusnya dipandang sebagai satu dari variasi Homo sapiens.
Perdebatan Antara Pithecantropus ke Homo Erectus
Penemuan fosil-fosil Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dengan teori evolusi insan yang dituliskan oleh Charles Darwin. Harry Widianto menuliskan perdebatan itu menyerupai berikut. Fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan pada tahun 1894 dalam banyak sekali majalah ilmiah melahirkan perdebatan. Dalam publikasinya itu Dubois menyatakan bahwa, berdasarkan teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus ialah peralihan simpanse ke manusia. Kera merupakan moyang manusia. Pernyataan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan, apakah benar atap tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi berukuran besar, dan tulang paha yang berciri modern itu berasal dari satu individu? Sementara orang menduga bahwa tengkorak tersebut merupakan tengkorak seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik Pongo sp., dan tulang pahanya milik insan modern? Lima puluh tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dari gigi Pongo Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang berukuran besar, akar gigi yang berpengaruh dan terbuka, dentikulasi yang tidak individual, dan permukaan occlusal yang sangat berkerut-kerut.
Perdebatan itu kemudian berlanjut sampai ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan inovasi tersebut dalam seminar internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda, dan dalam pekan raya publik British Zoology Society di London. Setelah seminar dan pekan raya itu banyak hebat yang tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan semua hasil temuannya itu, sampai pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh Franz Weidenreich. Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian ilmu paleoantropologi telah lahir di Indonesia.
Tahun 1920-an merupakan periode yang luar biasa bagi teori evolusi manusia. Teori itu terus menjadi perdebatan, para hebat paleontologi berbicara wacana ontogenesis dan heterokroni. Seorang teman Dubois, Bolk melaksanakan formulasi teori foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois telah melaksanakan inovasi fosil missing-link. Sementara Bolk menemukan modalitas evolusi dengan menafsirkan bahwa peralihan dari simpanse ke insan terjadi melalui perpanjangan perkembangan fetus. Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang sangat terkenal, bahwa filogenesa dan ontogenesis sama sekali tidak sanggup dipisahkan. Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar semenjak tahun 1927. Penemuan situs Zhoukoudian di bersahabat Beijing, menghasilkan sejumlah besar fosil-fosil manusia, yang diberi nama Sinanthropus pekinensis. Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha tersebut memperlihatkan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus erectus.
Seorang hebat biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan memisahkan Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda dengan insan modern. Pithecanthropus ialah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah perbedaan itu hanya perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus harus diletakkan dalam genus Homo, dan untuk mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo erectus. Maka berakhirlah debat panjang mengenai Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan insan yang berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai hominid dari Jawa, bab dari Homo erectus.