Corak Kehidupan Masyarakat Era Praaksara
1. Pola Hunian
Mengamati Lingkungan
Mengamati Lingkungan
Coba kau amati baik-baik gambar di atas. Gambar itu memperlihatkan salah satu pola hunian masyarakat praaksara. Mengapa menentukan tinggal di gua? Untuk memahami pola hunian insan purba kau sanggup mengkaji uraian berikut.
Memahami Teks
Dalam buku Indonesia Dalam Arus Sejarah, Jilid I diterangkan perihal pola hunian insan purba yang memperlihatkan dua karakter khas hunian purba yaitu, (1) kedekatan dengan sumber air dan (2) kehidupan di alam terbuka. Pola hunian itu sanggup dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa pola yang memperlihatkan pola hunian menyerupai itu yaitu situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan contoh-contoh dari adanya kecenderungan insan purba menghuni lingkungan di pinggir sungai. Kondisi itu sanggup dipahami mengingat keberadaan air memperlihatkan bermacam-macam manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga diharapkan oleh tumbuhan maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya banyak sekali hewan untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memperlihatkan kesuburan bagi tanaman. Keberadaan air juga dimanfaatkan insan sebagai sarana penghubung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui sungai, insan sanggup melaksanakan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
2. Dari Berburu-Meramu hingga Bercocok Tanam
Mengamati Lingkungan
Sering kali kita mendengar kegiatan pembukaan lahan di beberapa kawasan di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk membuka lahan gres untuk pertanian, perumahan atau untuk kegiatan industri dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. Sebenarnya nenek moyang kita juga sudah melaksanakan hal serupa. Pola hidup berpindah-pindah dan melaksanakan kegiatan bercocok tanam demi kelangsungan hidup mereka. Bagaimana pendapat kau mengenai kesamaan kegiatan dari dua kehidupan insan yang terpisah jarak jutaan tahun tersebut? Untuk mendapat pemahaman perihal kegiatan bercocok tanam insan purba di Kepulauan Indonesia silahkan telaah bacaan berikut.
Memahami Teks
Mencermati hasil penelitian baik yang berwujud fosil maupun artefak lainnya, diperkirakan insan zaman praaksara mula-mula hidup dengan cara berburu dan meramu. Hidup mereka umumnya masih tergantung pada alam. Untuk mempertahankan hidupnya mereka menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari materi kuliner yang tersedia. Alat-alat yang dipakai terbuat dari kerikil yang masih sederhana. Hal ini terutama berkembang pada insan Meganthropus dan Pithecanthropus. Tempat-tempat yang dituju oleh komunitas itu umumnya lingkungan erat sungai, danau, atau sumber air lainnya termasuk di kawasan pantai. Mereka beristirahat contohnya di bawah pohon besar. Mereka juga menciptakan atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daunan.
Masa insan purba berburu dan meramu itu sering disebut dengan masa food gathering. Mereka hanya mengumpulkan dan menyeleksi kuliner alasannya belum sanggup mengusahakan jenis tumbuhan untuk dijadikan materi makanan. Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok insan purba yang bertempat tinggal sementara, contohnya di gua-gua, atau di tepi pantai.
Peralihan Zaman Mesolitikum ke Neolitikum mengambarkan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengan Homo sapien sebagai pendukungnya. Mereka tidak hanya mengumpulkan kuliner tetapi mencoba memproduksi kuliner dengan menanam. Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika mereka sudah mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mereka melihat biji-bijian sisa kuliner yang tumbuh di tanah sehabis tersiram air hujan. Pelajaran inilah yang kemudian mendorong insan purba untuk melaksanakan cocok tanam. Apa yang mereka lakukan di sekitar tempat tinggalnya, usang kelamaan tanah di sekelilingnya habis, dan mengharuskan pindah. mencari tempat yang sanggup ditanami. Ada yang membuka hutan dengan menebang pohon-pohon untuk membuka lahan bercocok tanam. Waktu itu juga sudah ada pembukaan lahan dengan cara memperabukan hutan. Bagaimana pendapat kau perihal hal ini dan kira-kira apa bedanya dengan pembakaran hutan yang dilakukan oleh insan modern kini ini?
Kegiatan insan bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan pokoknya yaitu jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup maka terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini berkembang alasannya ketika itu, yakni sekitar tahun 2000 – 1500 S.M ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia. Begitu juga kegiatan beternak juga mengalami perkembangan. Seiring kedatangan orangorang dari Yunan yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdagangan mulai dikenal. Dalam waktu singkat kegiatan perdagangan dengan sistem tukar barang mulai berkembang. Kegiatan bertani juga semakin berkembang alasannya mereka sudah mulai bertempat tinggal menetap.
3. Sistem Kepercayaan
Sebagai insan yang beragama tentu kau sering mendengarkan ceramah dari guru maupun tokoh agama. Dalam ceramah-ceramah tersebut sering dikatakan bahwa hidup hanya Sebagai insan yang beragama tentu kau sering mendengarkan ceramah dari guru maupun tokoh agama. Dalam ceramah-ceramah tersebut sering dikatakan bahwa hidup hanya sebentar sehingga dihentikan berbuat menentang fatwa agama, contohnya dihentikan menyakiti orang lain, dihentikan rakus, bahkan melaksanakan tindak korupsi yang merugikan negara dan orang lain. Karena itu dalam hidup ini insan harus bekerja keras dan berbuat sebaik mungkin, saling menolong. Kita semua mestinya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa bila berbuat dosa alasannya melanggar perintah agama, atau menyakiti orang lain.
Nenek moyang kita mengenal kepercayaan kehidupan sehabis mati. Mereka percaya pada kekuatan lain yang maha berpengaruh di luar dirinya. Mereka selalu menjaga diri semoga sehabis mati tetap dihormati. Berikut ini kita akan menelaah sistem kepercayaan insan zaman praaksara, yang menjadi nenek moyang kita. Perwujudan kepercayaannya dituangkan dalam banyak sekali bentuk diantaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi sebagai bekal untuk orang yang meninggal. Tentu kau masih ingat perihal komplemen yang dipakai sebagai bekal kubur. Seiring dengan bekal kubur ini, pada zaman purba insan mengenal penguburan mayat. Pada ketika inilah insan mengenal sistem kepercayaan. Sebelum meninggal insan menyiapkan dirinya dengan menciptakan banyak sekali bekal kubur, dan juga tempat penguburan yang menghasilkan karya seni cukup manis pada masa sekarang. Untuk itulah kita mengenal dolmen, sarkofagus, menhir dan lain sebagainya.
Memahami Teks
Masyarakat zaman praaksara terutama periode zaman Neolitikum sudah mengenal sistem kepercayaan. Mereka sudah memahami adanya kehidupan sehabis mati. Mereka meyakini bahwa roh seseorang yang telah meninggal akan hidup di alam lain. Oleh alasannya itu, roh orang yang sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya. Terkait dengan itu maka kegiatan ritual yang paling menonjol yaitu upacara penguburan orang meninggal. Dalam tradisi penguburan ini, mayat orang yang telah meninggal dibekali banyak sekali benda dan peralatan kebutuhan sehari-hari, contohnya barang-barang perhiasan, periuk dan lain-lain yang dikubur bersama mayatnya. Hal ini dimaksudkan semoga perjalanan arwah orang yang meninggal selamat dan terjamin dengan baik. Dalam upacara penguburan ini semakin kaya orang yang meninggal maka upacaranya juga semakin mewah. Barangbarang berharga yang ikut dikubur juga semakin banyak.
Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacaraupacara pesta untuk mendirikan bangunan suci. Mereka percaya insan yang meninggal akan mendapat kebahagiaan kalau mayatnya ditempatkan pada susunan batu-batu besar, contohnya pada peti kerikil atau sarkofagus.
Batu-batu besar ini menjadi lambang pinjaman bagi insan yang berbudi luhur juga memberi peringatan bahwa kebaikan kehidupan di darul abadi hanya akan sanggup dicapai sesuai dengan perbuatan baik selama hidup di dunia. Hal ini sangat tergantung pada kegiatan upacara simpulan hayat yang pernah dilakukan untuk menghormati leluhurnya. Oleh alasannya itu, upacara simpulan hayat merupakan manifestasi dari rasa bakti dan hormat seseorang terhadap leluhurnya yang telah meninggal. Sistem kepercayaan masyarakat praaksara yang demikian itu telah melahirkan tradisi megalitik (zaman megalitikum = zaman kerikil besar). Mereka mendirikan bangunan batu-batu besar menyerupai menhir, dolmen, punden berundak, dan sarkofagus. Pada zaman praaksara, seorang sanggup dilihat kedudukan sosialnya dari cara penguburannya. Bentuk dan materi wadah kubur sanggup dipakai sebagai petunjuk status sosial seseorang. Penguburan dengan sarkofagus misalnya, memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan penguburan tanpa wadah. Dengan kata lain, pengelolaan tenaga kerja juga sering dipakai sebagai indikator stratifikasi sosial seseorang dalam masyarakat.
Sistem kepercayaan dan tradisi kerikil besar menyerupai dijelaskan di atas, telah mendorong berkembangnya kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme merupakan sebuah sistem kepercayaan yang memuja roh nenek moyang. Di samping animisme, muncul juga kepercayaan dinamisme. Menurut kepercayaan dinamisme ada benda-benda tertentu yang diyakini mempunyai kekuatan gaib, sehingga benda itu sangat dihormati dan dikeramatkan.
Seiring dengan perkembangan pelayaran, masyarakat zaman praaksara simpulan juga mulai mengenal sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan di kalangan para nelayan. Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila ingin berlayar jauh, atau mungkin ketika memulai pembuatan perahu. Sistem kepercayaan nenek moyang kita ini hingga kini masih sanggup kita temui dibeberapa daerah.