Verifikasi Media, Muncul Permintaan Pembubaran Dewan Pers
SEBANYAK 74 media massa di Indonesia sudah mendapat verifikasi dari Dewan Pers alasannya ialah dianggap sudah menegakkan arahan etik jurnalistik dengan pemberitaannya yang sanggup dipercaya masyarakat.
Anggota Dewan Pers, Stanley Adi Prasetyo, menegaskan, verifikasi media diharapkan untuk mengembalikan doktrin masyarakat pada media.
Dilansir laman BBC Indonesia, ada yang menyatakan penerapan kebijakan verifikasi media ini sudah menjadikan kebingungan dan penutupan susukan terhadap kerja media di Medan, Bandung, dan Bali.
Yang lainnya yang menyatakan khawatir bahwa mereka akan dianggap sebagai media tidak berkualitas alasannya ialah tidak menerima verifikasi.
Sejumlah pihak masih mempertanyakan proses verifikasi yang dikhawatirkan akan menjadi pengekangan terhadap kebebasan pers ibarat pada masa Orde Baru, yang menerapkan prosedur izin terbit.
Peneliti media dan pakar Asia Tenggara dari Australian National University, Ross Tapsell, menyambut baik langkah Dewan Pers sebagai caranya untuk menawarkan tugas di kala media online.
Jurnalis dari situs Tabloid Jubi di Papua, Victor Mambor, khawatir pemberlakuan barcode sanggup menjadi bibit pemberangusan.
Lebih jauh, muncul bunyi biar Dewan Pers dibubarkan saja alasannya ialah bekerja tidak profesional dalam melaksanakan verifikasi.
Menurut Oktaf, tanggapan tersebarnya daftar 74 media terverifikasi, banyak forum termasuk di kepolisian di Sumatera Selatan menolak wartawan bagi perusahaan tidak terverifikasi Dewan Pers. "PWI harus mengkaji ulang pengumuman Dewan Pers itu," tegasnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua PWI Kepri, Ramos Ramora. Dengan tegas ia katakan, Dewan Pers harus dibubarkan alasannya ialah bekerja tidak profesional dalam melaksanakan verifikasi.
Ketua PWI Lampung, Supriyadi Alfian juga menyesalkan pengumuman yang terlalu dini untuk disampaikan ke publik. "Ini mengundang reaksi keras di daerah. Karena di Lampung saja belum diverifikasi," katanya.
Dewan Pers memang menjadikan "kegaduhan baru" di tengah gaduh sosial-politik tanah air dikala ini tanggapan isu penistaan agama dan lambang negara, juga sinyalemen kemunculan komunisme. Verifikasi media juga mengindikasikan Dewan Pers sudah terindikasi pro-pemerintah yang ingin mengendalikan "semua sumber daya" di tanah air.
Dalih verifikasi media ialah memerangi gosip bohong (hox) dan mengembalikan doktrin masyarakat terhadap media pers. Padahal, kredibilitas media ditentukan faktor lain. (www.baticmedia.com).*
Sumber https://www.baticmedia.com/
Anggota Dewan Pers, Stanley Adi Prasetyo, menegaskan, verifikasi media diharapkan untuk mengembalikan doktrin masyarakat pada media.
Dilansir laman BBC Indonesia, ada yang menyatakan penerapan kebijakan verifikasi media ini sudah menjadikan kebingungan dan penutupan susukan terhadap kerja media di Medan, Bandung, dan Bali.
Yang lainnya yang menyatakan khawatir bahwa mereka akan dianggap sebagai media tidak berkualitas alasannya ialah tidak menerima verifikasi.
Sejumlah pihak masih mempertanyakan proses verifikasi yang dikhawatirkan akan menjadi pengekangan terhadap kebebasan pers ibarat pada masa Orde Baru, yang menerapkan prosedur izin terbit.
Peneliti media dan pakar Asia Tenggara dari Australian National University, Ross Tapsell, menyambut baik langkah Dewan Pers sebagai caranya untuk menawarkan tugas di kala media online.
Posisi organisasi Dewan Pers -yang bukan sebagai regulator- berdasarkan Tapsell, menciptakan kehadiran mereka menjadi lebih penting dalam menjalankan tugas memverifikasi media yang mengembangkan gosip benar dan media yang tidak jelas.
Jurnalis dari situs Tabloid Jubi di Papua, Victor Mambor, khawatir pemberlakuan barcode sanggup menjadi bibit pemberangusan.
Lebih jauh, muncul bunyi biar Dewan Pers dibubarkan saja alasannya ialah bekerja tidak profesional dalam melaksanakan verifikasi.
Seruan pembubaran Dewan Pers --yang sudah dianggap menjadi alat penguasa untuk mengendalikan media massa-- itu muncul dalam Konferensi Kerja Nasional 2017 Persatuan Wartawan Indonesia (Konkernas PWI) di Ambon, Selasa (7/2/2017).
Peserta Konkernas mengencam Dewan Pers yang mengumumkan 74 media yang terverifikasi, pekan lalu.
"Pengumuman perihal media yang terverifikasi itu sangat merugikan perusahaan pers di daerah," kata Ketua PWI Sumatera Selatan, Oktaf Riadi, ibarat dikutip Lampung Post.
Menurut Oktaf, tanggapan tersebarnya daftar 74 media terverifikasi, banyak forum termasuk di kepolisian di Sumatera Selatan menolak wartawan bagi perusahaan tidak terverifikasi Dewan Pers. "PWI harus mengkaji ulang pengumuman Dewan Pers itu," tegasnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua PWI Kepri, Ramos Ramora. Dengan tegas ia katakan, Dewan Pers harus dibubarkan alasannya ialah bekerja tidak profesional dalam melaksanakan verifikasi.
Ketua PWI Lampung, Supriyadi Alfian juga menyesalkan pengumuman yang terlalu dini untuk disampaikan ke publik. "Ini mengundang reaksi keras di daerah. Karena di Lampung saja belum diverifikasi," katanya.
Dewan Pers memang menjadikan "kegaduhan baru" di tengah gaduh sosial-politik tanah air dikala ini tanggapan isu penistaan agama dan lambang negara, juga sinyalemen kemunculan komunisme. Verifikasi media juga mengindikasikan Dewan Pers sudah terindikasi pro-pemerintah yang ingin mengendalikan "semua sumber daya" di tanah air.
Dalih verifikasi media ialah memerangi gosip bohong (hox) dan mengembalikan doktrin masyarakat terhadap media pers. Padahal, kredibilitas media ditentukan faktor lain. (www.baticmedia.com).*