Kerajaan Mataram Kuno (Kerajaan-Kerajaan Pada Masa Hindu-Buddha)
Pada pertengahan masa ke-8 di Jawa potongan tengah berdiri sebuah kerajaan baru. Kerajaan itu kita kenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Mengenai letak dan sentra Kerajaan Mataram Kuno tepatnya belum sanggup dipastikan. Ada yang menyebutkan sentra kerajaan di Medang dan terletak di Poh Pitu. Sementara itu letak Poh Pitu hingga kini belum jelas. Keberadaan lokasi kerajaan itu sanggup diterangkan berada di sekeliling pegunungan, dan sungaisungai. Di sebelah utara terdapat Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro; di sebelah barat terdapat Pegunungan Serayu; di sebelah timur terdapat Gunung Lawu, serta di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan Pegunungan Seribu. Sungai-sungai yang ada, contohnya Sungai Bogowonto, Elo, Progo, Opak, dan Bengawan Solo. Letak Poh Pitu mungkin di antara Kedu hingga sekitar Prambanan.
Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno sanggup dipakai sumber yang berupa prasasti. Ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura, Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung. Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah untuk Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari informasi Cina.
Perkembangan Pemerintahan Sebelum Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa seorang raja berjulukan Sanna. Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya yaitu putra Sanaha, saudara wanita dari Sanna.
Dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu). Diperkirakan Dapunta Syailendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa potongan tengah. Dalam hal ini Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa.
Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan kekuasaan Sanna. Sanjaya lalu melaksanakan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga). Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.
Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan mempunyai pengetahuan luas. Para pujangga dan rakyat hormat kepada rajanya. Oleh alasannya yaitu itu, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan menjadi kondusif dan tenteram. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian penting yaitu pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci. Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.
Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya berjulukan Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah menawarkan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Prasasti Kalasan juga pertanda bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran lalu memindahkan sentra pemerintahannya ke arah timur.
Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan. Daerahnya bertambah luas. Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra. Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.
Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul duduk kasus dalam keluarga Syailendra, alasannya yaitu adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa). Hal ini mengakibatkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno. Satu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di kawasan Jawa potongan utara. Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di kawasan Jawa potongan selatan. Keluarga Syailendra yang beragama Hindu meninggalkan bangunanbangunan candi di Jawa potongan utara. Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo. Kompleks Candi Dieng menggunakan namanama tokoh wayang menyerupai Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar.
Sementara yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi menyerupai Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur. Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M. Pembangunan lalu dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan Pikatan.
Perpecahan di dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu balasannya bersatu kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga. Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.
Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang berjulukan Balaputradewa memperlihatkan perilaku menentang terhadap Pikatan. Kemudian terjadi perang kudeta antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa menciptakan benteng pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan. Benteng ini kini kira kenal dengan Candi Boko. Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra. Balaputradewa lalu menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Mataram Kuno wilayahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi lalu digantikan oleh Dyah Balitung. Raja Balitung merupakan raja yang terbesar. Ia memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu. Pada pemerintahan Balitung bidangbidang politik, pemerintahan, ekonomi, agama, dan kebudayaan mengalami kemajuan. Ia telah membangun Candi Prambanan sebagai candi yang bagus dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.
Sesudah pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran. Raja yang berkuasa sesudah Balitung yaitu Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang mengakibatkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya petaka dan bahaya dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.