Standar Jurnalistik, Aba-Aba Etik, Dan Kualifikasi Wartawan
ISTILAH standar jurnalistik mengemuka dikala pemerintah memblokir sejumlah situs Islam.
Muncul pendapat, konten sebagian situs gosip dakwah yang diblokir itu tidak memenuhi kaidah atau standar jurnalistik sehingga tidak sanggup disebut produk jurnalistik.
Pengertian Standar Jurnalistik
Merujuk pada Kamus Bahasa, standar artinya "ukuran tertentu yang digunakan sebagi patokan. Jurnalistik artinya yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran --mengolah dan menyiarkan berita.
Tidak ada rumusan baku wacana pengertian standar jurnalistik. Merujuk pada pengertian standar dan jurnalistik berdasarkan kamus bahasa di atas, standar jurnalistik sanggup didefinisikan sebagai "patokan baku dalam penulisan informasi yang dipublikasikan melalui media massa".
Tulisan yang masuk kategori karya atau produk jurnalistik yakni gosip (news), karangan khusus (feature), dan opini (views):
- Berita yakni laporan insiden terbaru atau cerita/keterangan mengenai insiden atau insiden yang hangat.
- Feature yaitu karangan yang melukiskan suatu pernyataan dengan lebih terperinci sehingga apa yang dilaporkan hidup dan tergambar dalam imajinasi pembaca.
- Opini yaitu goresan pena berisi pendapat subjektif penulisnya wacana suatu persoalan atau peristiwa.
Sebuah goresan pena disebut tidak memenuhi standar jurnalistik bila berupa karangan, khayalan, atau fiksi (tidak nyata, tidak faktual).
Standar Jurnalistik: Kode Etik
Standar jurnalistik juga sanggup dikaitkan dengan isyarat etik jurnalistik atau susila profesi wartawan.
Etika ini dirumuskan dan ditetapkan secara formal oleh Dewan Pers dalam Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), dan Pedoman Pemberitaan Media Siber.
Di antara isyarat etik jurnalistik adalah:
- Tidak mencampurkan fakta dan opini --wartawan dihentikan memasukkan opini langsung dalam menulis berita.
- Berimbang atau meliput kedua pihak (covering both side).
- Cek dan ricek (disiplin verifikasi) biar akurat dan faktual.
- Tidak menulis gosip bohong, fitnah, dan cabul.
- Tidak mendapatkan suap dan menyalahgunakan profesi.
Standar Jurnalistik: Kualifikasi Wartawan
Standar jurnalistik juga sanggup dikaitkan dengan kualifikasi atau syarat menjadi wartawan (jurnalis).
Menurut UU No. 40/1999 wacana Pers (Pasal 1 poin 4), wartawan yakni “orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik”.
Menurut M.L. Stein (1993:5), pada umumnya wartawan yakni orang baik yang menyayangi pekerjaannya. Jam kerja wartawan 24 jam sehari. Ia bekerja sepanjang waktu dan kadang kala bekerja di kawasan ancaman atau terancam bahaya. Merekalah yang memburu gosip (fakta atau kejadian), meliput banyak sekali peristiwa, dan menuliskannya untuk dikonsumsi orang banyak.
“Di mana terjadi suatu peristiwa, wartawan akan berada di sana,” kata M.L. Stein (1993:5), “seperti mata dan indera pendengaran para pembaca suatu harian.”
Wartawan yakni suatu profesi yang penuh tanggungjawab dan risiko. Karenanya, ia harus mempunyai idealisme dan ketangguhan. Wartawan bukanlah dunia bagi orang yang ingin bekerja dari jam sembilan pagi sampai lima sore setiap hari dan libur pada hari Minggu. Tidak ada seorang pun tahu kapan kebakaran atau tragedi lain akan terjadi.
Untuk menjadi wartawan, seseorang harus siap mental dan fisik. Coleman Hartwell dalam bukunya, Do You Belong In Journalism? menulis:
“Seseorang yang tidak mengetahui cara untuk mengatasi persoalan dan tidak mempunyai cita-cita untuk bekerja dengan orang lain, tidak sepantasnya menjadi wartawan. Hanya mereka yang merasa bahwa hidup ini menarik dan mereka yang ingin membantu memajukan kota dan dunia yang patut terjun di bidang jurnalistik”.
Wartawan Itu Profesional
Wartawan yakni seorang profesional, ibarat halnya dokter atau pengacara. Ia mempunyai keahlian tersendiri yang tidak dimiliki profesi lain (memburu, mengolah, dan menulis berita). Ia juga punya tanggung jawab dan isyarat etik tertentu.
Seorang sarjana India, Dr. Lakshamana Rao, menyebutkan empat kriteria untuk menyebutkan mutu pekerjaan sebagai profesi sebagaimana dikutip Ja’far Assegaf (1985:19):
- Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tadi.
- Harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu.
- Harus ada keahlian (expertise).
- Harus ada tanggung jawab yang terikat pada isyarat etik pekerjaan.
Setidaknya ada enam standar profesi wartawan sejati:
1. Well Selected
Terseleksi dengan baik. Menjadi wartawan semestinya tidak gampang alasannya yakni harus memenuhi kriteria profesionalisme antara lain keahlian (expertise) atau keterampilan jurnalistik serta menaati isyarat etik jurnalistik.
2. Well Educated
Terdidik dengan baik. Wartawan seyogianya melalui tahap pendidikan kewartawanan, setidaknya melalui pembinaan jurnalistik yang terjadwal dan terarah secara baik.
3. Well trained
Terlatih dengan baik. Akibat kurang terlatihnya wartawan kita, banyak gosip muncul di media yang bukan kurang cermat, tidak yummy dibaca, dan bahkan menyesatkan.
4. Well Equipped
Dilengkapi dengan peralatan memadai. Pekerjaan wartawan butuh kemudahan ibarat alat tulis, alat rekam, kamera, alat komunikasi, alat transportasi, dan sebagainya. Wartawan tidak akan sanggup bekerja optimal tanpa pinjaman kemudahan memadai.
5. Well Paid
Digaji secara layak sebagaimana layaknya profesional. Jika tidak, jangan harap “budaya amplop” sanggup diberantas. Kasus pemerasan dan penyalahgunaan profesi wartawan akan terus muncul jawaban “tuntutan perut”.
6. Well Motivated
Memiliki motivasi yang baik ketika menerjuni dunia kewartawanan. Motivasi di sini lebih pada idealisme, bukan materi. Jika motivasiya berlatar uang, maka tidak sanggup diperlukan menjadi wartawan profesional atau wartawan sejati. Wasalam. (www.baticmedia.com).*
Sumber: Jurnalistik Terapan (Baticpress Bandung 2003) dan Jurnalistik Mudah (Rosdakarya Bandung 1999) karya Asep Syamsul M. Romli. Rujukan jenis-jenis goresan pena jurnalistik: University of Richmond Writing Center. Sumber https://www.baticmedia.com/