Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penerapan Pendidikan Huruf Anak Di Sekolah Dasar

Source : Pixabay


Selamat pagi rekann-rekan semuanya. Kali ini saya akan coba share mengenai pentingnya penanaman pendidikan huruf anak semenjak dini. Karakter anak sangatlah besar lengan berkuasa untuk memilih masa depan di masa yang akan datang. Oleh sebab itu tanamkanlah huruf yang baik kepada anak semenjak dini biar kelak anak menjadi sukses sesuai yang diharapkan di masa yang akan datangnya.

Baca juga : Pendidikan Penerapan Karakter Anak Di Usia Dini

Penerapan Pendidikan Karakter Anak Di Sekolah Dasar

A. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Karakter

1. Sejarah Munculnya Pendidikan Karakter

Secara khusus dalam konteks pendidikan istilah huruf muncul pada simpulan masa 18. Istilah ini pertamakali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W. Foerster. Terminologi ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif, yang menjadi prioritas yaitu nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah. Foerster tidak menghapus pentingnya tugas metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis.

Lahirnya pendidikan huruf bisa dikatakan sebagai sebuah perjuangan untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte. Foerster menolak gagasan yang beranggapan pengalaman insan pada sekedar bentuk murni hidup alamiah. Manusia tidak semata-mata taat pada aturan alamiah. Melainkan kebebasan itu dihayati dalam tata aturan yang sifatnya mengatasi individu, dalam tata aturan nilai-nilai moral. Pedoman nilai merupakan kriteria yang memilih kualitas tindakan insan di dunia.

Dinamika pemahaman pendidikan huruf berproses melalui tiga momen: momen historis, momen reflektif, dan momen praktis. Momen historis, yaitu perjuangan merefleksikan pengalaman umat insan yang bergulat dalam menghidupi konsep dan mudah pendidkan khususnya dalam jatuh bangkit membuatkan pendidikan huruf bagi anak didik sesuai dengan konteks zamannya. Momen reflektif, sebuah momen yang melalui pemahaman intelektualnya insan mencoba mendefinisikan pengalamannya, mencoba melihat masalah metodologis, filosofis, dan prinsipil yang berlaku bagi pendidikan karakter. Momen praktis,  yaitu dengan bekal pemahaman teoritis konseptual itu, insan mencoba menemukan secara efektif biar proyek pendidikan huruf sanggup efektif terealisasi di lapangan (Koesoema, 2007: 308).

2. Hakikat Pendidikan Karakter

Pendidikan berdasarkan John Dewey yaitu proses pembentukan kecakapan mendasar secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam hal ini biar generasi muda penerus bangsa sanggup menghayati, memahami, dan mengamalkan nilai atau norma-norma yang melatarbelakangi hidup dan kehidupan. Menurut UU Sisdiknas pendidikan yaitu perjuangan sadar dan berkala untuk mewujudkan suasana berguru dan proses pembelajaran biar penerima didik secara aktif membuatkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, etika mulia, serta keterampilan yang diharapkan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Dari definisi pendidikan berdasarkan UU Sisdiknas di atas sudah tersirat bahwa pembentukan huruf yang positif merupakan tujuan pendidikan yang diprioritaskan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dr.Martin Luther King ”Intelligence plus character....that is the goal of true education”(kecerdasan plus karakter....itu yaitu tujuan simpulan dari pendidikan sebenarnya). Namun, nyatanya kebijakan pendidikan di Indonesia lebih mementingkan aspek kecerdasan otak. Ada yang beropini bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibentuk hanya cocok diberikan kepada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya, 80-90 persen anak sekolah tidak sanggup mengikuti kurikulum pelajaran yang diajarkan di sekolah.

Prof. Suyanto, Ph.D (2009) mendefinisikan huruf yaitu cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas individu untuk hidup dan berafiliasi di lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan konkret melalui tingkah laris yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain, dan huruf mulia lainnya. Hal ini senada dengan pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa huruf itu erat hubungannya dengan habit atau kebiasaan yang terus-menerus dilakukan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Simon Philips dalam bukunya Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), huruf yaitu kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan sikap yang ditampilkan. Sementara itu, Koesoema A (2007:80) menyatakan bahwa huruf sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai “ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, contohnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang semenjak lahir”. Ratna Megawangi, memberikan bahwa istilah huruf diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark (menandai).

Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku, ada dua pengertian huruf dalam hal ini. Pertama bagaimana seseorang bertinglah laris dan kedua erat kaitannya dengan kepribadian. Seseorang dikatakan orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Dari beberapa definisi huruf di atas sanggup disimpulkan bahwa huruf itu berkaitan dengan kekuatan moral yang positif. Jadi, orang dikatakan berkarakter kalau ia mempunyai kualitas moral tertentu yang positif. Dengan demikian, pendidikan yaitu membangun karakter, yang secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola sikap yang didasari dimensi moral yang positif.

Pendidikan huruf bukan hanya pendidikan budi pekerti sebagai pendidikan nilai moralitas insan dalam tindakan  nyata. Tetapi pendidikan huruf yaitu pendidikan budi pekerti ‘plus’ yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).

Hal ini senada dengan pendapat Lickona (1992) yang menekankan tiga komponen huruf yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan ihwal moral), moral feeling (perasaan ihwal moral), dan moral action (perbuatan moral), yang diharapkan biar anak bisa memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Hill (2002) menyampaikan “pendidikan huruf mengajarkan kebiasaan berpikir dan sikap yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara serta membantu mereka untuk menciptakan keputusan yang sanggup dipertanggungjawabkan.”

Berdasarkan uraian di atas, sanggup disimpulkan bahwa pendidikan huruf yaitu proses pembentukan kepribadian, cara berpikir dan sikap insan yang dibiasakan sehingga menjadi dasar moralitas dalam menjalani hidupnya.

3. Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan huruf merupakan upaya untuk membentuk dan membuatkan huruf positif siswa. Tujuan pendidikan di Indonesia meliputi tiga dimensi, yaitu dimensi ketuhanan, pribadi, dan sosial. Artinya, pendidikan bukan di arahkan pada pendidikan yang sekuler, individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik. Tetapi pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mencari keseimbangan antara ketuhanan, pribadi, dan sosial.  Pembentukan huruf merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas Tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional yaitu membuatkan potensi penerima didik biar mempunyai kecerdasan, kepribadian, dan etika mulia. Harapan dari tujuan pendidikan nasional tersebut yaitu tidak hanya membentuk insan yang cerdas secara IQ, namun juga  EQ dan SQ sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan huruf dan kepribadian yang berlandaskan nilai-nilai luhur bangsa (pancasila) dan agama.

Pendidikan huruf yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan akan mencerdaskan emosi anak. Kecerdasan emosi ini merupakan bekal penting dalam mempersiapkan anak menyosongsong masa depan, sebab kecerdasan emosi akan memudahkan seseorang menghadapi segala macam tantangan kehidupan termasuk tantangan keberhasilan secara akademis.

Hal ini senada dengan pendapat Daniel Goleman ihwal keberhasilan seseorang di masyarakat yang menyatakan bahwa 80% dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan hanya 20% ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengemukakan banyak sekali hasil penelitian ihwal imbas positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Mendukung pendapat di atas, Masnur Muslich (2011: 59) menyatakan bahwa ada tiga hal yang menjadi tujuan pelatihan kecerdasan emosi, yaitu: (1) menemukan pribadi (kekuatan dan kelemahan siswa), (2) mengenal lingkungan, dan (3) merencanakan masa depan.

Dengan demikian, sanggup disimpulkan bahwa tujuan pendidikan huruf yaitu untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan huruf dan etika mulia penerima didik secara utuh, terpadu, dan seimbang dalam menyongsong masa depannya. Melalui pendidikan huruf diharapkan penerima didik bisa secara berdikari meningkatkan dan memakai pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai huruf etika mulia sehingga terwujud dalam sikap sehari-hari. Pada tingkat institusi, pendidikan huruf mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai–nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang di praktikan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, huruf atau watak, dan gambaran sekolah tersebut di mata masyarakat luas.

B. Nilai-nilai Pendidikan Karakter

Pendidikan huruf harus meliputi semua struktur antropologis insan yang terdiri dari jasad, roh, dan nalar (Koesoema A, 2007:80). Manusia yang layak dijadikan teladan yaitu sosok yang selama ini dijadikan panutan. Nabi, para pahlawan, pendiri bangsa, tokoh pendidikan yaitu orang-orang yang patut diteladani. Maka huruf yang paling ideal yaitu intelektual profetik (Masnur Muslich, 2011:76).

Seorang intelektual profetik mempunyai huruf antara lain: sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan, cinta Tuhan, bermoral, bijaksana, pembelajar sejati, mandiri, dan kontributif. Masnur Muslich (2011:77-78) mengemukakan sembilan pilar huruf yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2) kemandirian dan tanggungjawab, (3) kejujuran/amanah, diplomatis, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama, (6) percaya diri dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, dan (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan nilai huruf itu diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik dengan metode knowing the good,  feeling the good, dan acting the good.

Character Counts! Coalition (a project of The Joseph Institute of Ethics) dalam Masnur Muslich (2011:39) menyatakan ada enam pilar karakater yang sanggup menjadi acuan, yaitu:
1. Trustworthiness, bentuk huruf yang menciptakan seseorang menjadi berintegritas, jujur, dan loyal.
2. Fairness, bentuk huruf yang menciptakan seseorang mempunyai pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain.
3. Caring, bentuk huruf yang menciptakan seseorang mempunyai sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.
4. Respect, bentuk huruf yang menciptakan seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain.
5. Citizenship, bentuk huruf yang menciptakan seseorang sadar aturan dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam.
6. Responsibility, bentuk huruf yang menciptakan seseorang bertanggungjawab, disiplin, dan selalu melaksanakan sesuatu dengan sebaik mungkin.

Bangsa Indonesia menyepakati nilai-nilai yang di usung menjadi pandangan filosofis kehidupan bangsanya. Nilai-nilai itu meliputi (1) Ketuhanan yang maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) kerakyatan yang di pimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan (5) Keadilan soaial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nilai-nilai ini selaras dengan nilai-nilai yang kita sebut sebagai lima pilar huruf berikut.
1. Transendensi. Menyadari bahwa insan merupakan ciptaan yang kuasa yang maha Esa .
2. Humanisasi. Setiap insan pada hakekatnya setara di mata yang kuasa kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya.
3. Kebinekaan. Kesadaran akan ada semakin banyak perbedaan di dunia.
4. Liberasi. Pembebasan atas penindasan sesama manusia.
5. Keadilan. Keadilan merupakan kunci kesejahteraan.

Karakter sangat di perlukan sebagai modal dasar untuk memecahkan masalah besar yang di hadapi bangsa Indonesia selama ini. terkait dengan itu, dalam diskusi (pada 19 Juni 2009) Dr. Sukamto mengemukakan bahwa untuk melaksanakan pendidikan karakter, perlu adanya gagasan yang kuat (powerfull ideas) yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter.

Powerfull ideas ini meliputi:
1. Gagasan ihwal Tuhan, dunia, dan saya (God, the world and me);
2. Memahami diri sendiri (knowing your self);
3. Menjadi insan bermoral (becoming a moral person);
4. Memahami dan di pahami (understanding and being understood getting along with others);
5. Bekerjasama dengan orang lain (a sense of belonging);
6. Mengambil kekuatan di masa kemudian (drawing strength from the past);
7. Konsisten sepanjang waktu dan daerah (dien for all times and places)
8. Kepedulian terhadap makhluk (caring for Allah’s creation);
9. Membuat perbedaan (making a differenc); dan
10. Mengambil sesuatu yang niscaya (taking the lead).

Nilai-nilai yang perlu di ajarkan kepada anak berdasarkan Dr. Sukamto, meliputi:
1. Kejujuran;
2. Loyalitas dan sanggup diandalkan;
3. Hormat;
4. Cinta;
5. Ketidak egoisan dan sensitifitas;
6. Baik hati dan pertemanan;
7. Keberanian;
8. Kedamaian;
9. Mandiri dan potensial;
10. Disiplin diri dan moderasi;
11. Kesetiaan dan kemurnian; dan
12. Keadilan dan kasih sayang.

C. Upaya Guru untuk Menanamkan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar

Seorang guru diteladani sebab kekuatan pribadi atau karisma melalui integritasnya, dan dihormati sebab tindakannya, bukan sebab status atau pangkatnya. Seorang guru yang ingin menularkan “karakternya” bisa mengambil inisiatif dalam perilaku. Bukan hanya memerintah tetapi mulai melaksanakan dari dirinya sendiri selanjutnya memastikan bahwa siswanya sanggup mencontoh dan melaksanakan nilai-nilai yang dilakukannya. Sebagaimana Inpres Nomor 1 Tahun 2010: Penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai- nilai bangsa untuk membentuk daya saing dan huruf bangsa. Pembelajaran efektif untuk pendidikan huruf khususnya di sekolah dasar bukan mengedepankan teori tetapi keteladanan terutama dari guru, sesuai dengan pepatah jawa “guru: digugu lan ditiru”. Artinya di turuti kemudian di tiru dalam kehidupan sehari-hari.

Upaya-upaya yang sanggup dilakukan oleh guru di sekolah dasar untuk menanamkan pendidikan karakter, antara lain:

1. Menerapkan jadwal K3 (kebersihan, keindahan, dan ketertiban) secara kontinyu dan terus menerus sampai K3 menjadi kebiasaan yang membudaya di sekolah. Bukan hanya menghafal dikala siswa dihadapkan pada konsep kebersihan, keindahan, dan ketertiban tetapi proses pembelajarannya lebih kepada praktik eksklusif dengan memperhatikan lingkungan sekitar kelas atau sekolah.
2. Guru membiasakan untuk mengelola kondisi kelas sebelum memulai pembelajaran. Mengkondisikan kelas sanggup dilakukan dengan cara mengatur kesiapan berguru anak didik, mengamati ketertiban (kondisi/penampilan) anak didk, mengatur posisi dan ketertiban daerah duduk, mengecek kebersihan kelas, dan sebagainya.
3. Guru berusaha untuk menjadi potret atau ‘The Inspiring’ bagi siswa. Guru bisa memberi contoh konkret yang baik (uswatun hasanah) bagi siswa. Dengan demikian, yang diperoleh siswa tidak hanya materi pelajaran saja, tetapi juga mengedepankan akhlak, yang selanjutnya membangun mental insan sebagai pembelajar.
4. Guru berusaha untuk menjadi sahabat dan sahabat curhat bagi siswanya. Efektifitas evalusai huruf siswa tidak hanya soal buku laporan sikap siswa, melainkan mereka melaksanakan pendekatan dari hati ke hati.
5. Mengintegrasikan materi-materi pelajaran ke dalam acara sehari-hari melalui keteladanan/contoh, acara spontan/teguran, pengkondisian lingkungan (penyediaan sarpras), acara rutin (berbaris, berdoa,mengucapkan salam, dll).
6. Mengintegrasikan materi-materi pelajaran ke dalam kegiatan-kegiatan yang diprogramkan oleh sekolah dalam rangka menumbuhkembangkan nilai-nilai karakter.
7. Menerapkan konsep pendidikan holistik berbasis karakter. Pendekatan yang diterapkan: Student Active Learning, Developmentally Appropriate Practices, Integrated Learning, Contextual Learning, Collaborative Learning, dan Multiple Intelligences. Metode yang diterapkan: knowing the good, feeling the good, loving the good, dan action the good. Tujuannya yaitu menyeimbangkan antara hati, otak, dan otot (pendidikan holistik) dengan keinginan siswa menjadi anak yang berpikir kreatif, bertanggung jawab, dan berdikari (manusia holisik).
8. Membuat design perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran yang bernuansa karakter. Perencanaan pembelajaran bernuansa huruf sanggup dilakukan dengan pengintegrasian dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran, dimana materi pembelajaran  yang berkaitan dengan norma  atau  nilai-nilai pada setiap mata pelajaran dikembangkan,  dieksplisitkan,  dan  dikaitkan  dengan  konteks  kehidupan  sehari-hari. Sehingga  pembelajaran  nilai-nilai  karakter  tidak  hanya  pada  tataran  kognitif,  tetapi menyentuh  pada  internalisasi,  dan  pengamalan  nyata  dalam  kehidupan  peserta  didik sehari-hari di masyarakat. Tiga basis design pendidikan huruf antara lain: (1) kelas (2) kultur sekolah, dan (3) komunitas/kelompok pergaulan.

SIMPULAN

Secara khusus dalam konteks pendidikan istilah huruf muncul pada simpulan masa 18. Istilah ini pertamakali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W. Foerster. Secara terminologi pendidikan huruf mengacu pada teori filsafat idealisme yaitu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Prioritasnya yaitu nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun bagi sebuah perubahan sosial. Lahirnya pendidikan huruf bisa dikatakan sebagai sebuah perjuangan untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme. Dinamika pemahaman pendidikan huruf berproses melalui tiga momen: momen historis, momen reflektif, dan momen praktis.

Pendidikan yaitu proses pembentukan kecakapan mendasar secara intelektual dan emosional dalam berinteraksi dengan alam dan manusia. Sedangkan huruf merupakan kepribadian, kumpulan nilai yang melandasi cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas individu yang terbentuk sebab pembiasaan. Makara pendidikan huruf yaitu proses pembentukan kepribadian, cara berpikir dan berperilaku insan yang dibiasakan sehingga menjadi dasar moralitas yang mendorong dirinya untuk mewujudkan sikap dan sikap yang baik dalam menjalani hidupnya (dengan alam dan sesama manusia).

Berdasarkan pengertian pendidikan huruf di atas, sudah tersirat tujuan diterapkannya pendidikan huruf yang pada dasarnya yaitu untuk membentuk watak/kepribadian, cara berpikir dan berperilaku insan yang diarahkan kepada hal-hal yang positif/baik. Melalui pendidikan huruf diharapkan penerima didik bisa secara berdikari meningkatkan dan memakai pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter/ etika mulia dalam perilakunya sehari-hari.

Bangsa Indonesia menyepakati nilai-nilai yang di usung menjadi pandangan filosofis kehidupan bangsanya. Nilai-nilai itu meliputi: (1) Ketuhanan yang maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) kerakyatan yang di pimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan (5) Keadilan soaial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai ini selaras dengan nilai-nilai yang kita sebut sebagai lima pilar huruf yang meliputi: Transendensi. Humanisasi, Kebinekaan, Liberasi, dan Keadilan. Selanjutnya dari kelima nilai-nilai luhur bangsa Indonesia itu dijabarkan menjadi 18 huruf pada kurikulum, yang antara lain: Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, dan Tanggung jawab.

Upaya yang dilakukan oleh guru sekolah dasar untuk menanamkan pendidikan huruf antara lain: menerapkan jadwal K3 (kebersihan, keindahan, dan ketertiban), membiasakan mengkondisikan kelas sebelum memulai pembelajaran, guru berusaha menjadi idola yang uswatun hasanah bagi siswa, guru berusaha menjadi sahabat bagi siswanya, mengintegrasikan materi pelajaran ke dalam acara sehari-hari dan ke dalam kegiatan-kegiatan yang diprogramkan oleh sekolah, menerapkan pendidikan holistik berbasis karakter, dan menciptakan design pembelajaran yang bernuansa karakter.

Lihat juga : Karakter Seseorang dan Orang Pendiam

Itulah pembahasan dari saya mengenai pentingnya menanamkan pendidikan huruf pada anak di sekolah dasar. Semoga bisa membantu rekan-rekan semuanya khususnya bapak/ibu guru yang sedang mengajar di Sekolah Dasar. Jika ada yang ingin ditanyakan bisa hubungi kontak yang telah disediakan supaya blog ini bisa lebih baik kedepannya. Sekian dan terima kasih.