Asal Undangan Dan Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Mengamati Lingkungan
Coba kau cermati bahwa banyaknya suku bangsa di Indonesia terang memunculkan keberagaman bahasa daerah, dan kebudayaan yang berlaku dalam praktik-praktik kehidupan seharihari. Bayangkan saja ada lebih dari 500 suku bangsa Indonesia. Sungguh merupakan kekayaan bangsa yang tidak dimiliki oleh negara lain. Namun demikian kekayaan ini akan menjadi problem bila kita tidak arif mengelola perbedaan yang ada. Tentu ini berkaitan pula dengan asal mula kedatangan suku bangsa dan waktu kedatangan mereka. Oleh alasannya yaitu itu, penting untuk mengetahui bagaimana proses dan dinamika nenek moyang Indonesia sehingga terbentuk keragaman budayanya. Untuk itu kau harus mempelajarinya, biar kita bisa saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan yang ada.
Memahami Teks
Menurut Sarasin bersaudara, penduduk orisinil Kepulauan Indonesia yaitu ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Mereka mulanya tinggal di Asia pecahan tenggara. Ketika zaman es mencair dan air maritim naik hingga terbentuk Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sehingga memisahkan pegunungan vulkanik Kepulauan Indonesia dari daratan utama. Beberapa penduduk orisinil Kepulauan Indonesia tersisa dan menetap di daerah-daerah pedalaman, sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk pendatang. Penduduk orisinil itu disebut sebagai suku bangsa Vedda oleh Sarasin. Ras yang masuk dalam kelompok ini yaitu suku bangsa Hieng di Kamboja, Miaotse, Yao-Jen di Cina, dan Senoi di Semenanjung Malaya.
Beberapa suku bangsa ibarat Kubu, Lubu, Talang Mamak yang tinggal di Sumatra dan Toala di Sulawesi merupakan penduduk tertua di Kepulauan Indonesia. Mereka memiliki hubungan dekat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan orang Vedda yang dikala ini masih terdapat di Afrika, Asia Selatan, dan Oceania. Vedda itulah insan pertama yang tiba ke pulau-pulau yang sudah berpenghuni. Mereka membawa budaya perkakas batu. Kedua ras Melanesia dan Vedda hidup dalam budaya mesolitik.
Pendatang berikutnya membawa budaya gres yaitu budaya neolitik. Para pendatang gres itu jumlahnya jauh lebih banyak daripada penduduk asli. Mereka tiba dalam dua tahap. Mereka itu oleh Sarasin disebut sebagai Proto Melayu dan Deutro Melayu. Kedatangan mereka terpisah diperkirakan lebih dari 2.000 tahun yang lalu.
1. Proto Melayu
Proto Melayu diyakini sebagai nenek moyang orang Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar hingga pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka diperkirakan tiba dari Cina pecahan selatan. Ras Melayu ini memiliki ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecoklatan-coklatan, dan bermata sipit. Dari Cina pecahan selatan (Yunan) mereka bermigrasi ke Indocina dan Siam, kemudian ke Kepulauan Indonesia. Mereka itu mula-mula menempati pantaipantai Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Ras Proto Melayu membawa peradaban watu di Kepulauan Indonesia. Ketika tiba para imigran baru, yaitu Deutero Melayu (Ras Melayu Muda) mereka berpindah masuk ke pedalaman dan mencari tempat gres ke hutan-hutan sebagai tempat huniannya. Ras Proto Melayu itu pun kemudian mendesak keberadaan penduduk asli. Kehidupan di dalam hutan-hutan menimbulkan mereka terisolasi dari dunia luar, sehingga memudarkan peradaban mereka. Penduduk orisinil dan ras proto melayu itu pun kemudian melebur. Mereka itu kemudian menjadi suku bangsa Batak, Dayak, Toraja, Alas, dan Gayo.
Kehidupan mereka yang terisolasi itu menimbulkan ras Proto Melayu sedikit menerima efek dari kebudayaan Hindu maupun Islam dikemudian hari. Para ras Proto Melayu itu kelak menerima efek Nasrani semenjak mereka mengenal para penginjil yang masuk ke wilayah mereka untuk memperkenalkan agama Nasrani dan peradaban gres dalam kehidupan mereka. Persebaran suku bangsa Dayak hingga ke Filipina Selatan, Serawak, dan Malaka menawarkan rute perpindahan mereka dari Kepulauan Indonesia. Sementara suku bangsa Batak yang mengambil rute ke barat menyusuri pantai-pantai Burma dan Malaka Barat. Beberapa kesamaan bahasa yang dipakai oleh suku bangsa Karen di Burma banyak mengandung kemiripan dengan bahasa Batak.
2. Deutero Melayu
Deutero Melayu merupakan ras yang tiba dari Indocina pecahan utara. Mereka membawa budaya gres berupa perkakas dan senjata besi di Kepulauan Indonesia, atau Kebudayaan Dongson. Mereka seringkali disebut juga orang-orang Dongson. Peradaban mereka lebih tinggi daripada ras Proto Melayu. Mereka sanggup menciptakan perkakas dari perunggu. Peradaban mereka ditandai dengan keahlian mengerjakan logam dengan sempurna. Perpindahan mereka ke Kepulauan Indonesia sanggup dilihat dari rute persebaran alat-alat yang mereka tinggalkan di beberapa kepulauan di Indonesia, yaitu berupa kapak persegi panjang. Peradaban ini sanggup dijumpai di Malaka, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur.
Dalam bidang pengolahan tanah mereka memiliki kemampuan untuk menciptakan irigasi pada tanah-tanah pertanian yang berhasil mereka ciptakan, dengan membabat hutan terlebih dahulu. Ras Deutero Melayu juga memiliki peradaban pelayaran lebih maju dari pendahulunya alasannya yaitu petualangan mereka sebagai pelaut dibantu dengan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan. Perpindahan ras Deutero Melayu juga memakai jalur pelayaran laut. Sebagian dari ras Deutero Melayu ada yang mencapai Kepulauan Jepang, bahkan kelak ada yang hingga hingga Madagaskar.
Kedatangan ras Deutero Melayu di Kepulauan Indonesia makin usang semakin banyak. Mereka pun kemudian berpindah mencari tempat gres ke hutan-hutan sebagai tempat hunian baru. Pada kesannya Proto dan Deutero Melayu membaur dan selanjutnya menjadi penduduk di Kepulauan Indonesia. Pada masa selanjutnya mereka sulit untuk dibedakan. Proto Melayu mencakup penduduk di Gayo dan Alas di Sumatra pecahan utara, serta Toraja di Sulawesi. Sementara itu, semua penduduk di Kepulauan Indonesia, kecuali penduduk Papua dan yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua, yaitu ras Deutero Melayu.
3. Melanesoid
Ras lain yang terdapat di Kepulauan Indonesia yaitu ras Melanesoid. Mereka tersebar di lautan Pasifik di pulau-pulau yang letaknya sebelah Timur Irian dan Benua Australia. Di Kepulauan Indonesia mereka tinggal di Papua Barat, Ambon, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Bersama dengan Papua-Nugini dan Bismarck, Solomon, New Caledonia dan Fiji, Vanuatu, mereka tergolong rumpun Melanesoid.
Pada mulanya kedatangan Bangsa Melanesoid di Kepulauan Indonesia berawal dikala zaman es terakhir, yaitu tahun 70.000 SM. Pada dikala itu Kepulauan Indonesia belum berpenghuni. Ketika suhu turun hingga mencapai kedinginan maksimal, air maritim menjadi beku. Permukaan maritim menjadi lebih rendah 100 m dibandingkan permukaan dikala ini. Pada dikala itulah muncul pulau-pulau baru. Adanya pulau-pulau itu memudahkan makhluk hidup berpindah dari Asia menuju daerah Oseania.
Bangsa Melanesoid melaksanakan perpindahan ke timur hingga ke Papua, selanjutnya ke Benua Australia, yang sebelumnya merupakan satu kepulauan yang terhubung dengan Papua. Bangsa Melanesoid dikala itu hingga mencapai 100 ribu jiwa mencakup wilayah Papua dan Australia. Peradaban bangsa Melanesoid dikenal dengan paleolitikum.
Pada dikala masa es berakhir dan air maritim mulai naik lagi pada tahun 5000 S.M. Kepulauan Papua dan Benua Australia terpisah ibarat yang sanggup kita lihat dikala ini. Pada dikala itu jumlah penduduk mencapai 0,25 juta dan pada tahun 500 S.M. mencapai 0,5 juta jiwa.
Asal mula bangsa Melanesia, yaitu Proto Melanesia merupakan penduduk pribumi di Jawa. Mereka yaitu insan Wajak yang tersebar ke timur dan menduduki Papua, sebelum zaman es berakhir dan sebelum kenaikan permukaan maritim yang terjadi pada dikala itu. Di Papua insan Wajak hidup berkelompok-kelompok kecil di sepanjang muara-muara sungai. Mereka hidup dengan menangkap ikan di sungai dan meramu tumbuh-tumbuhan serta akar-akaran, serta berburu di hutan belukar. Tempat tinggal mereka berupa perkampungan-perkampungan yang terbuat dari bahanbahan yang ringan. Rumah-rumah itu bersama-sama hanya berupa kemah atau tadah angin, yang sering didirikan melekat pada dinding gua yang besar. Kemah-kemah dan tadah angin itu hanya dipakai sebagai tempat untuk tidur dan berlindung, sedangkan acara lainnya dilakukan di luar rumah.
Bangsa Proto Melanesoid terus terdesak oleh bangsa Melayu. Mereka yang belum sempat mencapai Kepulauan Papua melaksanakan percampuran dengan ras gres itu. Percampuran bangsa Melayu dengan Melanesoid menghasilkan keturunan Melanesoid-Melayu, dikala ini mereka merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
4. Negrito dan Weddid
Sebelum kedatangan kelompok-kelompok Melayu bau tanah dan muda, negeri kita sudah terlebih dulu kemasukan orang-orang Negrito dan Weddid. Sebutan Negrito diberikan oleh orang-orang Spanyol alasannya yaitu yang mereka jumpai itu berkulit hitam ibarat dengan jenis-jenis Negro. Sejauh mana kelompok Negrito itu bertalian darah dengan jenis-jenis Negro yang terdapat di Afrika serta Kepulauan Melanesia (Pasifik), demikian pula bagaimana sejarah perpindahan mereka, belum banyak diketahui dengan pasti.
Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dengan kepala mesocephal dan letak mata yang dalam sehingga nampak ibarat berang; kulit mereka coklat bau tanah dan tinggi rata-rata lelakinya 155 cm. Weddid artinya jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di Pulau Ceylon (Srilanka). Persebaran orang-orang Weddid di Nusantara cukup luas, contohnya di Palembang dan Jambi (Kubu), di Siak (Sakai) dan di Sulawesi pojok tenggara (Toala, Tokea dan Tomuna).
Periode migrasi itu berlangsung berabad-abad, kemungkinan mereka berasal dalam satu kelompok ras yang sama dan dengan budaya yang sama pula. Mereka itulah nenek moyang orang Indonesia dikala ini. Sekitar 170 bahasa yang dipakai di Kepulauan Indonesia yaitu bahasa Austronesia (Melayu-Polinesia). Bahasa itu kemudian dikelompokkan menjadi dua oleh Sarasin, yaitu Bahasa Aceh dan bahasa-bahasa di pedalaman Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Kelompok kedua yaitu bahasa Batak, Melayu, Jawa, dan Bali. Kelompok bahasa kedua itu memiliki hubungan dengan bahasa Malagi di Madagaskar dan Tagalog di Luzon. Persebaran geografis kedua bahasa itu menawarkan bahwa penggunanya yaitu pelautpelaut pada masa dahulu yang sudah memiliki peradaban lebih maju. Di samping bahasa-bahasa itu, juga terdapat bahasa Halmahera Utara dan Papua yang dipakai di pedalaman Papua dan pecahan utara Pulau Halmahera.
Dalam bahasan di atas kita telah membahas perihal teori asal ajakan nenek moyang Indonesia. Selama ini kita ketahui bahwa Proto Melayu, Deutero Melayu, dan Melanesoid tidak menawarkan hubungan geneologis, bahkan ada yang beropini keberadaan mereka ada alasannya yaitu pergantian populasi. Namun menurut penelitian gres yang melibatkan andal arkeologi, genetika, dan bahasa, ternyata asal-usul nenek moyang Indonesia berasal dari persamaan budaya, bahasa, dan dua atau lebih populasi keturunan sehingga menghasilkan teori gres yaitu Teori Out of Africa dan Out of Taiwan.
5. Teori Out of Africa dan Out of Taiwan
Dalam tinjauan akademis yang komprehensif perihal asalusul nenek moyang Indonesia, maka terlihatlah bahwa betapa eratnya keterkaitan dinamika sejarah Melanesia dengan bumi Nusantara. Mungkin kita akan bertanya, siapakah yang dimaksud dengan Melanesia itu? Kata Melanesia diperkenalkan pertama kali oleh Dumont d’Urville seorang penjelajah berkebangsaan Prancis untuk menyebut wilayah etnik penduduk yang berkulit hitam dan berambut keriting di daerah Pasifik, dalam pertemuan Geography Society of Paris pada tanggal 27 Desember 1831.
Menurut Harry Truman, pada sekitar 60.000 tahun yang kemudian ada sekelompok orang yang dengan semangat keberaniannya melintasi selat-selat dan maritim hingga mencapai Kepulauan Nusantara. Mereka yaitu Homo sapiens yang dalam buku literatur disebut sebagai Manusia Modern Awal. Ketika berangkat dari tanah asalnya yaitu Afrika, mereka tidak memiliki tempat tujuan. Teori ini oleh para andal disebut sebagai Teori Out of Africa. Dalam pikiran mereka yang ada hanyalah, bagaimana mereka sanggup menemukan ladang kehidupan gres yang lebih menjanjikan. Mereka beruntung dalam pengembaraannya segala rintangan alam sanggup diatasi, dari generasi ke genarasi mereka mencapai wilayah-wilayah penghidupan yang baru. Di tempat gres itu mereka mengeksplorasi sumberdaya lingkungan yang tersedia untuk mempertahankan hidup. Mereka meramu dari aneka macam umbi-umbian dan buah-buahan yang ada di wilayah itu. Hewan-hewan juga diburu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untuk keperluan itu maka dibuatlah peralatan dari watu dan materi organik, ibarat kayu dan bambu.
Waktu terus berlalu, perubahan alam alasannya yaitu iklim dan geografi juga populasi yang terus bertambah, mendorong mereka untuk mencari wilayah hunian baru. Perlahan tetapi niscaya mereka mengembara mencari tempat hunian baru. Mereka kemudian menyebar hingga ke wilayah timur Kepulauan Indonesia, bahkan meluas hingga mencapai Melanesia Barat dan Australia, wilayah geografi hunian mereka pun semakin meluas.
Pengalaman yang diperoleh selama mereka mengembara itu menjadi pengetahuan, yang selanjutnya pengetahuan itu diturunkan dari generasi ke generasi. Kemampuan berlayar dan menciptakan rakit, serta teknik-teknik menciptakan alat transportasi laut yang lebih berpengaruh dan nyaman. Begitu pula dengan pengetahuan perbintangan untuk menawarkan arah dikala berlayar. Pengalaman untuk menaklukkan ekosistem daratan, sehingga mereka bisa untuk beradaptasi dengan kondisi ekologi yang berbedabeda. Pengalaman itu menjadi pengetahuan-pengetahuan gres untuk memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan yang baru.
Pada dikala berakhirnya zaman es sekitar 12.000 tahun yang lalu, menimbulkan perubahan besar dalam aneka macam hal. Kenaikan muka maritim yang dratis mendorong penduduk di Kepulauan Indonesia melaksanakan persebaran ke aneka macam arah. Persebaran mereka ini juga telah merubah peta hunian mereka. Kondisi alam yang dikala itu mendukung, semakin meyakinkan mereka untuk menetap di tempat hunian yang gres itu. Alam tropis dengan biodiversitasnya menyediakan kebutuhan hidup sehingga populasi terus meningkat.
Para andal menggolongkan mereka sebagai Ras Australomelanesid. Mereka kemudian hidup menyebar ke guagua. Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, kebutuhan nenek moyang kita ini juga semakin meningkat. Teknologi untuk mempermudah kehidupan mereka juga semakin berkembang. Peralatan dari watu semakin beragam, peralatan dari materi organik pun semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan mereka. Keanekaragaman dalam peralatan insan pada dikala itu semakin mendorong produktivitas hingga semakin membawa kemajuan dalam aneka macam bidang. Kemajuan dalam bidang seni pada dikala itu ditandai dengan lukisan-lukisan cadas yang terdapat di dinding gua-gua yang memanifestasikan kekayaan alam pikiran. Kepercayaan pada kehidupan setelah mati juga terkonsepsi dalam sikap kubur terhadap orang yang meninggal.
Kemudian pada sekitar 4000 – 3000 tahun yang lalu, Kepulauan Indonesia kedatangan orang-orang baru. Mereka ini membawa budaya gres yang seringkali disebut dengan budaya Neolitik. Budaya ini sering dicirikan dengan kehidupan yang menetap dan domestikasi binatang dan tanaman. Pendatang yang berbicara dengan tutur Austronesia ini diperkirakan tiba dari Taiwan dengan kedatangan awal Sulawesi juga kemungkinan Kalimantan. Dari sinilah mereka kemudian menyebar ke aneka macam pelosok Kepulauan Nusantara. Pendatang yang lain sepertinya berasal dari Asia Tenggara Daratan. Mereka memakai bahasa Austroasiatik. Mereka ini sanggup mencapai Kepulauan Nusantara pecahan barat melalui Malaysia. Teori inilah yang seringkali oleh para andal disebut sebagai teori Out of Taiwan. Pertemuan para pendatang ini dengan populasi Australomelanesia pun tak sanggup dielakkan, sehingga terjadi kohabitasi. Adaptasi dan interaksi diantara sesama pun terjadi hingga mereka melaksanakan perkawinan campuran. Interaksi budaya dan dalam beberapa hal silang genetika pun tak sanggup dihindari. Proses interaksi yang berlanjut memperlihatkan keturunan Ras Australomelanesid yang kini lebih dikenal sebagai populasi Melanesia.
Pendapat Harry Truman tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati Sudoyo. Dalam studi genetika terbaru menawarkan bahwa, genetika insan Indonesia dikala ini kebanyakan yaitu campuran, berasal dari dua atau lebih populasi moyang. Secara gradual, presentasi genetikan Austronesia lebih secara umum dikuasai di pecahan timur Indonesia. Sekalipun kecil porsinya, genetika Papua ada hampir di seluruh wilayah pecahan barat Indonesia. Hal ini menunjukkan, bahwa di masa kemudian terjadi percampuran genetika dibandingkan penggantian populasi.
Demikian pula dari sudut penggunaan bahasa, Kepulauan Indonesia yang memiliki lebih dari 700 etnis, dengan 706 bahasa daerah sanggup digolongkan dalam dua bagian, yaitu penutur Austronesia dan non-Austronesia atau lebih sering disebut sebagai Papua. Multamia RMT Lauder menjelaskan bahwa telah terjadi pinjam-meminjam leksikal antara bahasa-bahasa non-Austronesia dengan Austronesia. Diperkirakan lebih dari 30 % dari semua bahasa yang hidup dikala ini yaitu bahasa Non Austronesia. Rumpun bahasa Austronesia cenderung ditemukan di daerah pesisir, tetapi ini tidak selalu. Bahasa Austronesia juga sanggup ditemukan di daerah pedalaman Papua Nugini. Gambaran itu menawarkan adanya contoh migrasi yang kompleks tetapi jelas, yaitu dari barat ke timur. Berdasarkan data itu nyatalah bahwa hubungan Austronesia dan Non-Austronesia bagaikan sebuah kain tenun yang benang-benangnya saling terjalin indah.