Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kerajaan Tarumanegara (Kerajaan-Kerajaan Pada Masa Hindu-Buddha)

Sejarah tertua yang berkaitan dengan pengendalian banjir dan sistem pengairan ialah pada masa Kerajaan Tarumanegara. Untuk mengendalikan banjir dan perjuangan pertanian yang diduga di wilayah Jakarta dikala ini, maka Raja Purnawarman menggali Sungai Candrabaga. Setelah akibat melaksanakan penggalian sungai maka raja mempersembahkan 1.000 ekor lembu kepada brahmana. Berkat sungai itulah penduduk Tarumanegara menjadi makmur. Siapakah Raja Purnawarman itu?

Purnawarman ialah raja populer dari Tarumanegara. Perlu kau pahami bahwa sesudah Kerajaan Kutai berkembang di Kalimantan Timur, di Jawa bab barat muncul Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan ini terletak tidak jauh dari pantai utara Jawa bab barat. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan letak sentra Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berada di antara Sungai Citarum dan Cisadane. Kalau mengingat namanya Tarumanegara, dan kata taruma mungkin berkaitan dengan kata tarum yang artinya nila. Kata tarum digunakan sebagai nama sebuah sungai di Jawa Barat, yakni Sungai Citarum. Mungkin juga letak Tarumanegara bersahabat dengan ajaran Sungai Citarum. Kemudian menurut prasasti Tugu, Purbacaraka memperkirakan sentra Kerajaan Tarumanegara ada di daerah Bekasi.

Sumber sejarah Tarumanegara yang utama ialah beberapa prasasti yang telah ditemukan. Berkaitan dengan perkembangan Kerajaan Tarumanegara, telah ditemukan tujuh buah prasasti. Prasasti-prasasti itu berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Prasasti itu adalah:

1. Prasasti Tugu

Inskripsi yang dikeluarkan oleh Purnawarman ini ditemukan di Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu, bersahabat Tanjung Priok, Jakarta. Dituliskan dalam lima baris goresan pena beraksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Inskripsi tersebut isinya sebagai berikut:

“Dulu (kali yang bernama) Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan memiliki lengan kencang dan kuat, (yakni Raja Purnawarman), untuk mengalirkannya ke laut, sesudah (kali ini) hingga di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnawarman yang berkilauan-kilauan alasannya kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja, (maka sekarang) dia memerintahkan pula menggali kali yang permai dan lembap jernih, Gomati namanya, seteleh kali itu mengalir di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pandeta Nenekda (Sang Purnawarman). Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, tanggal delapan paroh gelap bulan Phalguna dan akibat pada tanggal 13 paroh terang bulan Caitra, jadi hanya dalam 21 hari saja, sedang galian itu panjangnya 6.122 busur (± 11 km). Selamatan baginya dilakukan oleh brahmana disertai persembahan 1.000 ekor sapi”.

2. Prasasti Ciaruteun

Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasasti terdiri atas dua bagian, yaitu Inskripsi A yang dipahatkan dalam empat baris goresan pena berakasara Pallawa dan bahasa Sanskerta, dan Inskripsi B yang terdiri atas satu baris goresan pena yang belum sanggup dibaca dengan jelas. Inskripsi ini disertai pula gambar sepasang telapak kaki. Inskripsi A isinya sebagai berikut:
“ini (bekas) dua kaki, yang mirip kaki Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
Beberapa sarjana telah berusaha membaca inskripsi B, namun kesannya belum memuaskan. Inskrispi B ini dibaca oleh J.L.A. Brandes sebagai Cri Tji aroe? Eun waca (Cri Ciaru?eun wasa), sedangkan H. Kern membacanya Purnavarmma-padam yang berarti “telapak kaki Purnawarman”.




















3. Prasasti Kebon  Kopi

Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara, Desa Ciaruetun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasastinya dipahatkan dalam satu baris yang diapit oleh dua buah pahatan telapak kaki gajah. Isinya sebagai berikut:
“Di sini tampak sepasang telapak kaki…… yang mirip (telapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam…… dan (?) kejayaan”.

4. Prasasti Muara Cianten

Terletak di muara Kali Cianten, Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulan, Bogor. Inskripsi ini belum sanggup dibaca. Inskripsi ini dipahatkan dalam bentuk “aksara” yang menyerupai sulur-suluran, dan oleh para jago disebut huruf ikal.

5. Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak)

Terletak di sebuah bukit (pasir) Koleangkak, Desa Parakan Muncang, Nanggung, Bogor. Inskripsinya dituliskan dalam dua baris goresan pena dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isinya sebagai berikut:

“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya, ialah pemimpin insan yang tiada taranya, yang termashur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di Tarumanegara dan yang baju zirahnya yang populer tiada sanggup ditembus senjata musuh. Ini ialah sepasang telapak kakinya, yang senantiasa berhasil menggempur musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging musuh-musuhnya”.

6. Prasasti Cidanghiang (Lebak)

Terletak di tepi kali Cidanghiang, Desa Lebak, Munjul, Banten Selatan. Dituliskan dalam dua baris goresan pena beraksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isinya sebagai berikut: 

“Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang bergotong-royong dari Raja Dunia, Yang Mulia Purnwarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja.

7. Prasasti Pasir Awi

Inskripsi ini terdapat di sebuah bukit berjulukan Pasir Awi, di daerah perbukitan Desa Sukamakmur, Jonggol, Bogor, Inskripsi prasasti ini tidak sanggup dibaca alasannya inskripsi ini lebih berupa gambar (piktograf) dari pada tulisan. Di bab atas inskripsi terdapat sepasang telapak kaki.

Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat

Kerajaan Tarumanegara mulai berkembang pada masa ke-5 M. Raja yang sangat populer ialah Purnawarman. Ia dikenal sebagai raja yang gagah berani dan tegas. Ia juga bersahabat dengan para brahmana, pangeran, dan rakyat. Ia raja yang jujur, adil, dan pandai dalam memerintah. Daerahnya cukup luas hingga ke daerah Banten. Kerajaan Tarumanegara telah menjalin kekerabatan dengan kerajaan lain, contohnya dengan Cina.

Dalam kehidupan agama, sebagian besar masyarakat Tarumanegara memeluk agama Hindu. Sedikit yang beragama Buddha dan masih ada yang mempertahankan agama nenek moyang (animisme). Berdasarkan gosip dari Fa-Hien, di To-lo-mo (Tarumanegara) terdapat tiga agama, yakni agama Hindu, agama Buddha dan kepercayaan animisme. 

Raja memeluk agama Hindu. Sebagai bukti, pada prasasti Ciaruteun ada tapak kaki raja yang diibaratkan tapak kaki Dewa Wisnu. Sumber Cina lainnya menyatakan bahwa, pada masa Dinasti T’ang terjadi kekerabatan perdagangan dengan Jawa. Barang-barang yang diperdagangkan ialah kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Dituliskan pula bahwa penduduk daerah itu pandai menciptakan minuman keras yang terbuat dari bunga kelapa.

Rakyat Tarumanegara hidup kondusif dan tenteram. Pertanian merupakan mata pencaharian pokok. Di samping itu, perdagangan juga berkembang. Kerajaan Tarumanegara mengadakan kekerabatan dagang dengan Cina dan India.

Untuk memajukan bidang pertanian, raja memerintahkan pembangunan irigasi dengan cara menggali sebuah kanal sepanjang 6112 tumbak (±11 km). Saluran itu disebut dengan Sungai Gomati. Saluran itu selain berfungsi sebagai irigasi juga untuk mencegah ancaman banjir.