Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kerajaan Buleleng Dan Kerajaan Dinasti Warmadewa Di Bali

Menurut info Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada tempat Po-li atau Dwa-pa-tan yang sanggup disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian jenazah itu dibakar. Hal itu menunjukan Bali telah berkembang.

 Menurut info Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada tempat Po Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali

Dalam sejarah Bali, nama Buleleng mulai populer sehabis periode kekuasaan Majapahit. Pada waktu di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga berkembang sejumlah kerajaan. Misalnya Kerajaan Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan selanjutnya muncul kerajaan yang lain. Nama Kerajaan Buleleng semakin terkenal, terutama sehabis zaman penjajahan Belanda di Bali. Pada waktu itu pernah terjadi perang rakyat Buleleng melawan Belanda.

Pada zaman kuno, bergotong-royong Buleleng sudah berkembang. Pada masa perkembangan Kerajaan Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan menjadi salah satu tempat kekuasaan Dinasti Warmadewa. Sesuai dengan letaknya yang ada di tepi pantai, Buleleng berubah menjadi sentra perdagangan laut. Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng. Dari Buleleng barang dagangan yang berupa hasil pertanian menyerupai kapas, beras, asam, kemiri, dan bawang diangkut atau diperdagangkan ke pulau lain (daerah seberang). Perdagangan dengan tempat seberang mengalami perkembangan pesat pada masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh Anak Wungsu. Hal ini sanggup dibuktikan dengan adanya kata-kata pada prasasti yang disimpan di Desa Sembiran yang berangka tahun 1065 M.

Kata-kata yang dimaksud berbunyi, “mengkana ya hana banyaga sakeng sabrangjong, bahitra, rumunduk i manasa...” Artinya, andai kata ada saudagar dari seberang yang tiba dengan jukung bahitra berlabuh di manasa...”

Sistem perdagangannya ada yang memakai sistem barter, ada yang sudah dengan alat tukar (uang). Pada waktu itu sudah dikenal beberapa jenis alat tukar (uang), contohnya ma, su dan piling.

Dengan perkembangan perdagangan bahari antarpulau di zaman kuno secara hemat Buleleng mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali contohnya pada masa Kerajaan Dinasti Warmadewa.

Kerajaan Tulang Bawang

 Menurut info Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada tempat Po Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali
Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di tempat Lampung yaitu kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Berita Cina tertua yang berkenaan dengan tempat Lampung berasal dari periode ke-5, yaitu dari kitab Liu-sungShu, sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420–479). Kitab ini di antaranya mengemukakan bahwa pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Nusantara bab barat berjulukan P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina. Lebih lanjut kitab Liu-sung-Shu mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang diperdagangkan ke Cina. Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang dan Cina berlangsung terus semenjak pertengahan periode ke-5 hingga periode ke-6, menyerupai halnya dua kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li.

Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’inghuang-yu-chi yang ditulis pada tahun 976–983 M, disebutkan sebuah kerajaan berjulukan T’o-lang-p’p-huang yang oleh G. Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak di tempat pantai tenggara Pulau Sumatera, di selatan sungai Palembang (Sungai Musi). L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut terletak di tepi pantai menyerupai dikemukakan di dalam Wu-pei-chih, “Petunjuk Pelayaran”. Namun, di samping itu Damais lalu memperlihatkan pula kemungkinan lain mengenai lokasi dan identifikasi P’o-huang atau “Bawang” itu dengan sebuah nama tempat berjulukan Bawang (Umbul Bawang) yang kini terletak di tempat Kabupaten Lampung Barat, yaitu di tempat Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah. Tidak jauh dari desa Bawang ini, yaitu di desa Hanakau, semenjak tahun 1912 telah ditemukan sebuah inskripsi yang dipahatkan pada sebuah watu tegak, dan tidak jauh dari tempat tersebut dalam waktu beberapa tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah inskripsi watu yang lainnya.

Kerajaan Kota Kapur

Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk ihwal kemungkinan adanya sebuah sentra kekuasaan di tempat itu semenjak masa sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya. Pusat kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) terbuat dari watu bersama dengan arca-arca batu, di antaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya menyerupai arca-arca Wisnu yang ditemukan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar periode ke-5 dan ke-7 Masehi. Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi watu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, menyerupai halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.


Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini yaitu peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini memperlihatkan masa antara tahun 530 M hingga 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan periode ke-6  M tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi perluasan Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang simpulan periode ke-7 M. Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.