Faktor-Faktor Beresiko Dalam Sikap Seksual Remaja
Aktivitas korelasi seksual berkaitan juga dengan sikap beresiko lainnya, ibarat memakai obat terlarang, kenakalan remaja, dan masalah-masalah disekolah (Dryfoos & Barkin, 2006). Sebuah penelitian terkini menemukan bahwa aktivitas seksual yang dimulai lebih dini terkait dengan pengawasan orang bau tanah yang rendah dan kurangnya komunikasi mengenai korelasi seks serta dampak buruknya berepengaruh terhadap kemauan remaja untuk bekerjasama seksual (Zimmer-Gembeck & Helfand, 2008). Sedangkan penelitian lainnya mengungkapkan bahwa prestasi akademis yang baik merupakan faktor pelindung untuk menjaga remaja dari korelasi seksual dini (Laffin, Wang, & Barry, 2008).
Remaja butuh pendidikan seks dan gosip keluarga berencana, kanal yang lebih besar terhadap alat-alat kontrasepsi, dan keterlibatan serta derma komunitas yang luas (Conger, 1988; Crockett & Chopak, 1993; Potthof; 1992; Treboux & Busch-Rossnagel, 1991). Pertimbangan lain yang sangat penting, khususnya bagi remaja muda, ialah pantang melaksanakan korelasi seks yang semakin banyak dimasukkan sebagai salah satu tema dalam mata-mata pelajaran pendidikan seks.
Penggunaan Kontrasepsi
Remaja mengalami dua macam resiko sesudah melaksanakan korelasi seksual, yaitu kehamilan yang tidak disengaja atau tidak diinginkan dan terkena nanah yang ditularkan secara seksual. Kedua resiko ini sanggup dikurangi secara signifikan dengan memakai alat kontrasepsi. Sejumlah alat kontrasepsi tidak sanggup sepenuhnya melindungi seseorang dari nanah yang ditularkan secara seksual atau sexually transmitted infections (STIs) terutama jikalau ditularkan melalui kontak seksual, termasuk kontak genital-oral dan kontak genital-anal.
Kehamilan pada remaja sanggup membuat resiko kesehatan baik pada bayi maupun ibu. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang masih remaja cenderung mempunyai bobot yang rendah, ini merupakan faktor utama dari janjkematian bayi, maupun masalah-masalah neurologis dan penyakit pada bayi. Ibu yang masih remaja pun terancam putus sekolah (Chedraui, 2008).
Kognisi Remaja
Menurut teori Piaget seseorang yang telah berusia 11 tahun sudah mulai memasuki tahap perkembangan kognitif yang keempat yaitu tahap operasional formal. Tahap Operasional Formal ialah tahap dimana seseorang sanggup berpikir secara abstrak. Kualitas pemikiran astrak di tahap operasional formal pada remaja terbukti pada kemampuan mereka untuk memecahkan duduk kasus secara verbal. Dimana pada tahap operasional aktual perlu melihat elemen-elemen aktual A, B, dan C biar sanggup memuat kesimpulan logis yang menyatakan ahwa, jikalau A = B dan B = C maka A = C, namun pada tahap operasional formal remaja bisa memecahkan duduk kasus ini hanya melalui presentasi verbal.
Selain berpikir aneh dan idealistik, remaja juga berpikir secara logis. Remaja cenderung memecahkan duduk kasus melalui trial and error,remaja mulai erpikir sebagaimana ilmuwan berpikir, membuat planning untuk memecahkan duduk kasus dan secara sistematis menguji solusi.
Egosentrisme Remaja
Egosentrisme remaja yakni meningkatnya kesadaran diri pada remaja. David Elkind (1976) beropini bahwa egosentris pada remaja mengandung dua komponen utama yaitu imaginary audience dan personal fable. Imaginary audience yakni keyakinan remaja bahwa orang lain mempunyai ketertarikan pada si remaja tersebut sebagai mana remaja tersebut mempunyai ketertarikan pada dirinya, termasuk juga tingkah laris menarik perhatian dan merasa seperti ia tengah berada di sebuah panggung dan dialah tokoh utamanya. Personal fable yakni agian dari egosentris remaja yang menganggap dirinya seagai indiidu yang unik dan tidak terkalahkan.
Pemprosesan Informasi dan Mengambil Keputusan
Menurut Kuhn (2009) remaja mengalami peningkatan fungsi direktur yang melibatkan aktifitas kognitif dalam tingkat yag lebih tinggi ibarat penalaran, mengambil keputusan, dan berpikir kritis.
Masa remaja yakni masa dimana seseorang dihadapkan pada situasi yang lebih banyak melibatkan pengambilan keputusan (Sunstein, 2008). Berdasakan hasil riset diketahui bahwa remaja lebih kompeten dalam mengambil keputusan dibandingkan belum dewasa (Keating, 1990). Dibanding anak-anak, remaja cenderung lebih menghasilkan aneka macam pendapat yang berbeda, menelaah sebuah situasi berdasarkan aneka macam perspektif, mengantisipasi konsekuensi dari keputusan, serta mempertimbangkan dapat dipercaya sumber.
Sebagian besar orang mengambil keputusan dengan lebih baik pada dikala mereka berada dalam kondisi hening dibandingkan dikala sedang emosi. Secara khusus hal ini erlaku pada remaja, yag cenderung mempunyai emosi yang kuat. Seorang remaja yang berada dalam kondisi hening bisa mengambil keputusan secara bijaksana, dan sanggup mengamil keputusan yang tidak bijaksana dikala emosi (Paus, 2009; Steinberg, 2008). Dalam hal demikian, emosi sering kali menghambat kemampuan mengambil keputusan.
Konteks sosial berperan penting dalam pengambilan keputusan remaja. Penelitian mengungkapkan bahwa kehadiran rekan sebaya dalam situasi beresiko meningkatkan kecenderungan remaja dalam mengambil keputusan yag beresiko (Steinberg, 2008).
Berpikir Kritis
Masa remaja ialah periode transisi yang penting dalam perkembangan berpikir kritis (Keating, 1990). Berdasarkan sebuah study yang melibatkan anak kelas 5, 8, dan 11, diketahui bahwa berpikir kritis meningkat seiring bertamahnya usia.
Perubahan kognitif yang dialami remaja meliputi meningkatnya kecepatan dan kapasitas dalam memproses gosip yag memungkinka gosip terseut sanggup dimanfaatkan untuk tujua lan, mempunyai kemampuan yagn lebih luas, meningkatnya kemampuan untuk mengkontruksi kombinasi gres dari pengetahuan dan pengalaman sebelumnya, serta penggunaan seni administrasi dan mekanisme yang lebih luas dalam mengaplikasikan atau memperoleh pengetahuan, ibarat perencanaan dan mempertimbangkan aneka macam alternatif.
Transisi di Sekolah
Transisi menuju Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas berlangsung bersamaan dengan perubahan sosial, keluarga, dan individual di kehidupan remaja. Transisi ini sering menekan remaja, salah satu sumber stress yakni peralihan dari top-dog ke posisi terendah atau terkecil di sekolah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap pendidikan:
1. Sikap dan korelasi dengan sobat sebaya
2. Sikap dan derma orang tua
3. Nilai-nilai yang mengambarkan keerhasilan atau kegagalan akademis
4. Sikap dan korelasi dengan guru serta kepuasan terhadap kebijaksanaan akademik
5. Keberhasilan dalam setiap aktivitas ekstra kurikuler
6. Dukungan teman-teman sekelas
Penghargaan Diri
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa pada pria maupun wanita harga diri cenderung menurun di masa remaja. Penelitian juga menyatakan bahwa penurunan harga diri wanita lebih banyak dibanding laki-laki. Penghargaan diri mencerminkan pandangan seseorang terhadap dirinya.
Identitas
Perkembangan identitas merupakan hal yang kompleks dan berlangsung secara bertahap. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa masa remaja yakni masa pencarian jati diri. Biasanya remaja mencoba identitas yang berbeda, karenanya remaja menjadi bereksperimen dengan tugas dan kepribadian berbeda, yang bertujuan untuk mencari kecocokan mereka dengan dunianya, sehingga tidak sedikit remaja yang mengalami kebingungan identitas, dalam masa ini remaja tidak bisa ditinggalkan sendiri, melainkan harus didampingi orang bau tanah atau guru untuk bisa membantu remaja berbagi identitas positif.
Pada tahun-tahun awal masa remaja, pembiasaan diri dengan kelompok masih tetap penting, lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-tema dalam segala hal.
Dalam teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson remaja berada di tahap ke-5 yaitu Identity versus Identity Confusion (12-20 tahun). Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis ibarat orang remaja sehingga tampak adanya kontradikasi bahwa di lain pihak anak dianggap remaja tetapi di sisi lain dianggap belum dewasa. Peran orang bau tanah sebagai sumber proteksi dan nilai utama mulai menurun. Adapun tugas kelompok atau sobat sebaya tinggi. Apabila anak tidak sukses pada fase ini, maka akan membuat anak mengalami krisis identitas, begitupun sebaliknya.
Erikson menjelaskan bahwa identitas diri yang dicari remaja berupa perjuangan untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau seorang dewasa? Apakah ia bisa percaya diri sekalipun latar belakang ras, agama atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya? Secara keseluruhan, apakah ia berhasil atau gagal?
Minat pada Agama
Erik Erikson, menyatakan bahwa pada masa remaja, individu mengalami ketertarikan yang tinggi terhadap agama, menurutnya masa remaja merupakan pintu gerbang ke indentitas spiritual yang melewati batas kewajaran. Para peneliti telah menemukan bahwa agama telah memperlihatkan banyak dampak positif dalam kehidupan remaja, terutama dalam kompetensi sosial mereka, diantara efek positif itu yakni :
- Remaja yang mempunyai regiositas tinggi secara umum mempunyai prestasi akademis yang lebih menonjol, serta lebih bisa mengendalikan emosinya.
- Remaja dengan regiositas tinggi mempunyai kecederungan yang rendah terhadap merokok, minum alkohol dan mengkonsumsi narkoba.
- Agama sanggup menekan tingkat freesex pada remaja.
Banyak remaja mulai mewaspadai konsep dan keyakinan akan religiusnya pada masa kanak-kanak dan oleh alasannya yakni itu periode remaja disebut sebagai periode keraguan religius. Namun, Wagner beropini bahwa apa yang sering ditafsirkan sebagai “keraguan religius” kenyataannya merupakan tanya-jawab religius. Menurut Wagner banyak remaja memeriksa agama sebagai sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para perjaka ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin mendapatkan dengan begitu saja. Mereka mewaspadai agama bukan untuk menjadi atheis, melainkan alasannya yakni mereka ingin mendapatkan agama sebagai sesuatu yang bermakna dan berdasarkan cita-cita mereka untuk berdikari dan bebas memilih keputusan-keputusan mereka sendiri.